Tidak ada yang mampu mengetahui seperti apa jadinya hidup tanpa kejujuran. Kesalahpahaman, permasalahan, konflik yang pernah terjadi di masa lalu harus segera diselesaikan. Namun, kebanyakan orang sibuk dengan semua kehidupan yang terjadi saat ini, hingga mereka lupa bahwa masa lalu dapat menghancurkan apa yang sudah tertata rapi menjadi berantakan dalam sekejap.
***
"Sedang apa kau di sini? Ke mana saja kau selama ini? Kenapa tiba-tiba muncul di hadapanku seolah tak merasa bersalah?!" Tanya Gunawan kepada Fauzan dengan nada tinggi.
Fauzan ke luar dari mobil dan menoleh ke arah Ali. "Ali, masuklah ke mobil. Ini pembicaraan orang dewasa." Pintanya.
Ali mengiyakan.
Apa ini sudah waktu yang tepat untukku mengatakan semuanya? Batin Fauzan.
"Maaf. Aku harus pergi." Fauzan membalikkan badan dan hendak masuk ke mobilnya kembali.
Tidak. Ini belum waktu yang tepat. Sebentar lagi, tapi tidak sekarang.
Gunawan menarik lengannya, "HEI! APA-APAAN KAU INI! AKU SUDAH MENCARIMU SELAMA HAMPIR 20 TAHUN! DAN SEKARANG KAU INGIN PERGI TANPA MERASA BERSALAH?!" Teriaknya.
"Aku akan memberitahukan semuanya padamu. Tapi saat ini bukan waktu yang tepat."
"AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANMU LOLOS KALI INI! KATAKAN PADAKU! DI MANA PUTRAKU, FAUZAN??!!!" Gunawan menarik kerah baju Fauzan dan seolah hendak melayangkan pukulan ke arah wajahnya.
Ali yang melihat dari dalam mobil hanya merasa aneh dan penasaran akan pembicaraan mereka. Mengapa Ayah dan Pak Gunawan terlihat sangat serius? Sejak kapan mereka saling kenal?
"Lepaskan aku Gunawan! Kau membuatku sesak!" Fauzan memberontak.
Melihat itu, Ali langsung ke luar dari mobil dan membantu ayahnya. "Lepaskan Ayah saya." Katanya sembari melepaskan genggaman tangan Gunawan yang mengenai leher Fauzan.
"UHUK UHUK! K-Kau... Penyakit lamamu belum sembuh juga, Gunawan? Intermittent Explosive Disorder (IED) itu masih mengakar di dalam dirimu? Penyakit yang membuatmu kehilangan istri dan anakmu sendiri, begitu?! Haha... Gunawan... Gunawan... Bagaimana rasanya menjadi seorang pembunuh dan dibenci oleh orang-orang di sekelilingmu?!"
Ada apa ini? Kenapa Ayah berkata seperti itu? Ali semakin heran.
SET!
"Gunawan kembali menarik kerah baju Fauzan, kemudian ia mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan wajahnya. "KAU! Kau sudah tahu jelas bahwa aku bukan pembunuh! DI SINI ADALAH KESALAHANMU! DI MANA PUTRAKU, FAUZAN?!! Hikss... Hiks..." Emosi Gunawan membuat air matanya tumpah.
Fauzan berontak, melepaskan dirinya dari genggaman Gunawan. "HEI!" Kini Fauzan yang justru mengarahkan telunjuknya di depan wajah Gunawan. "Jika kau mampu menahan emosimu, mengontrolnya, dan tidak bertindak sesuka hati, istri dan putramu tidak akan pergi darimu! Sadarilah bahwa kau memang seorang pembunuh! Harusnya kau sudah mendekam di penjara sekarang! Bukan malah berkeliaran di sini dengan santai. Kenapa? Kau telah membungkam para polisi itu dengan uangmu, ya?"
BUAK!!!
Gunawan memukul wajah Fauzan sekuat tenaga hingga membuat tubuhnya terbentur badan depan mobil.
Gunawan kembali menarik kerah bajunya dan hendak memukul, "Sudah kubilang kalau aku bukan pembunuh. Katakan saja, DI MANA PUTRAKU?! Jika kau tidak mau memberi tahuku di mana ia berada saat ini juga, aku tidak akan segan-segan untuk..."
"Membunuhku? BUNUH SAJA!" Bentak Fauzan. "Biarkan saja dia tahu bagaimana perilaku ayah kandungnya agar dia bisa berpikir untuk tidak hidup denganmu. Karena, HAHAHA... Bagaimana mungkin dia yang sejak kecil hidup bahagia denganku kini mau hidup dengan seorang lelaki yang emosinya terganggu sepertimu? Bisa-bisa dia jadi korban pembunuhanmu selanjutnya."
"AKU BUKAN PEMBUNUH!" BUAAAKK!!! Gunawan kembali memukul wajah Fauzan. Begitu juga Fauzan juga memukul wajahnya. Mereka saling pukul hingga membuat Ali emosi.
"STOP! Jika kalian tidak berhenti, saya akan panggil polisi." Ancam Ali.
Dan ancaman itu berhasil membuat mereka berhenti dari perkelahian setelah wajah mereka babak belur.
"Sebenarnya apa masalah Ayah dan Bapak? Mengapa bersikap kekanakan seperti ini? Tidak bisakah dibicarakan dengan baik?" Kata Ali yang berusaha mendamaikan situasi.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan dengan baik. Lebih baik kita pergi saja dari sini. Jangan sampai ada lagi korban yang ia buat di tengah emosinya yang sedang memuncak. Kita pergi saja." Fauzan beranjak pergi sembari menepuk pundak Ali seolah menyuruhnya untuk masuk ke mobil.
Perkataan Fauzan ada benarnya juga, aku harus mampu menahan emosiku. Aku tidak bisa memaksakan kehendak di saat penyakitku sudah kembali muncul seperti ini. ARGH! Batinnya menjerit. Ia terduduk sembari menundukkan kepalanya.
Melihatnya seperti itu membuat Ali iba dan ingin tahu lebih dalam tentang penyakit yang diderita Gunawan serta permasalahan yang terjadi di antara mereka berdua.
Gunawan pun membiarkan Fauzan dan Ali pergi dengan alasan "menghindari pembunuhan."
***
Semakin dalam rasa sakitmu, semakin ingin kau melupakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Tapi, pada dasarnya ikhlas adalah melepaskan, bukan melupakan.
Meskipun ada begitu banyak dentuman yang menghantam hati dan jiwamu, mereka juga butuh untuk tenang dan merasa damai.
Memangnya hatimu tidak lelah terus-terusan membatin karena ego yang sudah dipupuk kian rutin?
Aku tahu tidak mudah melupakan kenangan di masa lalu, terlebih kenangan pahit. Namun, setiap cerita akan selalu ada "scene" bahagia. Kita hanya perlu menunggu waktu dan nikmatilah prosesnya.
Dan, jika kau tidak bisa berdamai dengan masa lalu, setidaknya berdamailah dengan dirimu sendiri.
- Syafaa Dewi -
...
"Mas Rizky punya buku yang bagus. Apa yang tertulis di sini berhasil mendamaikan hatiku." Kata Kira sembari membolak-balik lembaran buku di meja makan pagi itu.
Cuupppp~~~
Tiba-tiba Rizky datang dari balik punggung Kira dan mencium pipinya.
"EH!" Kira terkejut. "Ah.. Mas ini.. Bikin Adek kaget saja."
"Haahhaa.. Habisnya kamu serius banget sih. Lagi baca apa?"
"Oh, ini.. Adek lagi baca buku karya Syafaa Dewi. Bagus loh, Mas. Adek suka."
"Iya. Mas juga suka. Hm.. Adek sudah sarapan? Maaf ya, Mas cuma bisa bikin pancake pagi ini."
"Kok minta maaf sih? Ini enak banget loh, Mas. Adek sampai habis dua porsi."
"Hahaha.. Iya dong.. Kan kamu makan untuk dua orang, Sayang... Sini-sini Mas mau elus Rizki Junior."
Kira hanya tersenyum. Kemudian, Rizky menundukkan kepalanya seraya berkata, "Halo, Rizki Junior... Gimana? Pancake buatan Abi enak, gak?"
"Enak Abi..." Sahut Kira dengan suara anak-anak seolah menjadi Rizki Junior.
"Hahhaa... Kamu dan Umi sehat-sehat ya, Nak. Mmmuuaahhh..." Rizky mencium perut Kira.
"Mas.. Geli... Hihihi..."
"Oo.. Geli, ya? Kitik kitik kitik" Rizky justru semakin menggelitiki perut Kira.
"Hahaha... Sudah Mas, Adek gak kuat hahahaha...."
"Iya-iya.. Adek sudah mandi? Kalau sudah biar kita berangkat saja sekarang."
"Ke mana?"
"Loh, kok lupa? Katanya mau ketemu Papa dan yang lainnya soal kejadian tadi malam?"
"Oiyaya, Mas. Adek lupa. Sudah kok, Adek sudah selesai semuanya."
"Yasudah ayo berangkat."
Di perjalanan...
"Mas, Adek mau telpon Papa dulu, ya. Mau memberi tahu kalau kita akan ke sana."
"Hu'um.."
"Halo? Assalamu'alaikum, Pa?"
"Wa'alaikumussalam, Ra. Ada apa?"
"Ra sama Mas Rizky mau ke Jakarta, Pa. Hmmm.. Soal kejadian tadi malam Ra butuh penjelasan."
"... Pa? Kok diam? Memangnya Ra gak boleh tahu, ya?"
Masih tidak ada jawaban dari Gunawan.
"... Pa? Papa baik-baik saja?"
Rizky melihat ke arah Kira (translate: Ada apa?).
"HALO?" Kira menaikkan volume suaranya.
"Eh. Iya, Ra? Kenapa barusan?"
"Papa kenapa? Baik-baik saja?" Tanya Kira, cemas.
"B-baik kok...Baik. Papa baik-baik saja. Kamu ke Jakarta sama Rizky hanya ingin tahu penjelasan dari kejadian tadi malam, begitu?"
"HANYA? Apanya yang "hanya", Pa? Ini penting bagi Kira."
"Iya, baiklah. Papa rasa ini memang waktu yang tepat untuk memberi tahu semuanya. Kalian ke Hanania Residence, kan? Yasudah, nanti Papa susul."
"Iya. Sampai jumpa di sana ya, Pa. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah."
Telepon ditutup.
"Ada apa, Dek?" Tanya Rizky, penasaran.
"Hmmm.. Adek rasa ada yang aneh deh Mas sama Papa."
"Aneh? Aneh bagaimana?"