Sebuah rumah bergaya klasik tampak sepi. Mentari pagi yang menembus celah-celah tanaman bonsai menambah kesan hangat di rumah itu. Gunawan dan Ali sedang berada di meja makan untuk sarapan, sementara Kira belum keluar dari kamarnya.
"Coba kamu panggil adikmu, ajak dia sarapan." Pinta Gunawan pada Ali yang sedang mengoles selai ke rotinya.
"Kenapa tidak Anda saja yang melakukan itu?" Kata Ali yang tidak peduli.
Mungkin dia belum menerima kehadiranku sebagai ayahnya. Aku tidak akan memaksa. Batin Gunawan. Ia pun bergegas menuju kamar Kira.
TOK TOK TOK...
"Ra? Papa masuk, ya?"
Tidak ada jawaban.
TOK TOK TOK...
"Ra? Kira?" Sahut Gunawan lagi.
Masih tidak ada jawaban. Karena khawatir akan sesuatu yang terjadi pada putrinya, di segera membuka pintu kamar Kira yang selalu tidak dikunci.
"Astaghfirullah!" Gunawan terkejut ketika melihat kamar Kira yang berantakan. Dia mencoba membangunkan Kira, "Ra? Kira.. Kenapa bisa seperti ini?" Gunawan menggoyang-goyangkan tubuh Kira beberapa kali agar dia terbangun, "Kira? Kira?!" Nada suaranya meninggi, "KIRA?!" Gunawan cemas, Kira masih tidak sadarkan diri. "ALIIII!!!!!" Teriaknya dari kamar Kira yang terletak di lantai dua.
Ck! Pak Tua itu pagi-pagi sudah teriak-teriak begini.
"Ali! Kira tidak sadarkan diri!!!!"
Mendengar itu, Ali bergegas menuju kamar Kira. Mereka kemudian membawanya ke rumah sakit.
***
Rani memasang raut muka bahagia di meja makan pagi itu. "Mama kenapa? Kok kelihatannya bahagia sekali?" Tanya Tyo pada istrinya.
"Yaaa... Bagaimana tidak bahagia? Akhirnya... Menantu tidak berguna itu sudah pergi dari rumah ini, Pa. Mama senang sekali." Kata Rani
"Tapi tetap saja mereka belum bercerai, Ma."
"Sebentar lagi juga akan bercerai."
"Kenapa Mama seyakin itu?"
"Karena feeling wanita selalu benar." Kata Rani sembari menaikkan kedua alisnya disertai dengan senyum jahatnya.
"Hahaha... Semoga benar begitu ya, Ma. Karena bagaimanapun juga Keluarga Syarif harus mendapatkan istri dan keturunan yang sempurna. Bukan penyakitan seperti 'keluarga sebelah'. Hahahaha...." Tyo tertawa lebar.
"Wuahahaha... Benar sekali, Pa. Mau taruh di mana muka Mama kalau sedang berkumpul dengan teman-teman sosialita? Masa orang terpandang seperti kita ini punya menantu dari keluarga yang emosinya terganggu? Ewh... Jijik banget, ya."
"Butuh miskinitizer dalam jumlah besar nih, Ma."
"Apa itu, Pa?"
"Sterilisasi kuman-kuman untuk keluarga kelas rendahan. Ahhahaha..."
"Ah, Papa ini ada-ada saja hahahaha... Mama jadi semakin bahagia hari ini hahahahahaha..." Rani tertawa terbahak-bahak. "Eh, tapi Rizky mana ya, Pa? Kenapa tidak turun untuk sarapan?"
"Coba Mama panggil."
"Rizky???!!!! Gak sarapan, Nak?" Teriak Rani dari ruang makan. "Tidak ada jawaban, Pa."
"Hm.. Susul saja dia ke kamarnya."
Rani bergegas menuju kamar Rizky. Tidak biasanya Rizky mengabaikan panggilannya. Selain itu, Rizky juga terbiasa disiplin dalam segala hal, termasuk waktu untuk sarapan. Namun, kali ini dia terlambat. Hal itu membuatnya khawatir.
TOK TOK TOK! "Ky? Mama masuk ya, Nak?" Sahut Rani.
Tidak ada jawaban.
"Ky?! Mama masuk, ya?" Saat Rani hendak membuka pintu...
"KELUAR! JANGAN PERNAH MASUK KE KAMAR SAYA!" Teriak Rizky dari dalam.
Rani terkejut, "M-Mama hanya mau melihat kondisi kamu."