Astaghfirullah... Apa yang baru saja kupikirkan? Tidak. Itu tidak benar. Aku harus berpikir jernih. Decak Rizky.
Saat Rizky memasuki ruang rawat Kira, dia langsung menghampirinya, mencoba memegang tangan kira, namun...
SET! Kira menepisnya.
"Eh? K-kenapa, Dek?" Rizky terkejut.
"Pa, Kak, boleh tinggalkan kami berdua?" Pintanya kepada Gunawan dan Ali. Mereka pun pergi keluar.
"Ada apa, Sayang? Apa yang mau kamu bicarakan?"
Kira meneteskan air mata.
"Kenapa kamu menangis?"
"M-Mas... Lebih baik kita bercerai saja."
DUAR! Seakan ada petir yang menyambar di hati Rizky.
"A-apa? Apakah Mas salah dengar? Apakah kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?" Rizky shock.
"Ini demi kebaikan Adek dan bayi ini, Mas. Tolong pahamilah."
"Lalu, tidakkah kamu berpikir apakah ini juga baik untuk Mas? Kenapa kamu selalu mengambil keputusan sepihak begini?" Rizky mulai kesal.
Kira menatapnya dalam, "Hiks... Hiks... Mas, tolonglah.. Adek sudah tidak sanggup lagi berada di rumah itu. Semuanya terasa mati."
"Kita pindah saja ya, Sayang? Kita keluar dari rumah itu. Setidaknya kamu tidak akan diperlakukan dengan buruk lagi..."
"Mau bagaimanapun dan dengan cara apapun, kita tidak bisa memutus hubungan dengan orang tua kita, Mas. Selamanya akan tetap sama. Hiks.. Hiks.."
"Kita bisa bicarakan ini baik-baik... Hiks.." Tanpa sadar, Rizky pun ikut menangis.
"Bukankah Mas sudah pernah melakukan itu sebelumnya? Tapi, apa hasilnya? Tidak ada. Tetap saja Adek yang disalahkan dan jadi korbannya..."
Rizky hanya diam dengan air matanya yang berlinang.
"... Kesempatan kedua hampir tidak pernah ada, Mas... Hiks.. Hiks... Jika memang sumber dari permasalahan ini adalah penyakit yang diidap Papa, Adek bisa apa? Papa juga tidak bisa menolak takdir yang sudah terjadi padanya, kan? Papa juga sudah menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di masa lalu kepada orang tua Mas. Tapi, jangankan diterima, Papa justru tetap menjadi dalang dari semua permasalahan yang ada, hingga akhirnya berimbas pada Adek. Hiks..."
"Adek... Hiks.. Kamu salah. Kesempatan kedua akan selalu ada jika kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh, ikhlas, dan sabar. Kita coba lagi, ya? Kita bicara baik-baik sama Mama dan Papa?" Bujuk Rizky.
"Sudahlah, Mas. Hiks... Hiks... Tidak perlu membuang-buang waktu. Ridhoilah Adek untuk menggugat cerai Mas. Lepaskan Adek, dan menikahlah dengan Diana..."
"A-apa?"
"... Buatlah semuanya menjadi mudah. Adek mohon. Hiks.. Hiks..."
Rizky tertegun, "Apa semua ini karena Diana? Kenapa harus dia?"
"Karena, menurut orang tua Mas, dialah menantu yang sempurna untuk keluarga Mas, Keluarga Syarif. Hiks.."
"Dari mana kamu tahu informasi soal itu?" Rizky terdiam sejenak.
"Jadi, benar?"
Rizky kesal. Dia menormalkan kembali air mukanya. "Dek? Mas tidak pernah menaruh rasa apapun padanya..."
"Sama. Dahulu Mas juga tidak pernah menaruh rasa apapun pada Adek. Tapi, seiring waktu, Mas pasti bisa mencintainya seperti Mas mencintai Adek sampai saat ini. Hiks..."
"Kamu dan dia berbeda, Sayang... Hiks... Jangan memaksa perasaan Mas seperti ini. Mas cuma cinta sama kamu. Kamu adalah istri Mas satu-satunya. Mas tidak mau yang lain. Jadi, tolong... Jangan akhiri pernikahan ini... Hiksss.. Hikss.."
"Hiks.. Adek gak kuat lagi, Mas... Adek lelah dengan semua ini. Mas bilang, setiap pernikahan akan selalu ada cobaan, tapi... Tapi... Ini terlalu berat. Hiks.. Hiks.." Kira tersedu-sedu.
Rizky menatap istrinya dengan penuh cinta. Dia menghapus air mata Kira. "Jadi, kita akan tetap bersama apapun yang terjadi ya, Sayang?"
SET! Lagi-lagi Kira menepis tangan Rizky.
"Tidak, Mas. Ini keputusan Adek." Kira mengalihkan pandangannya, "Jika Mas tidak mau mentalaq Adek, maka ridhoilah Adek untuk melakulan khulu'." (read: istri menggugat cerai suami).
Rizky membalik badannya, mengacak-acak rambutnya. "Astaghfirullah..."
Kira acuh.
Kemudian, Rizky mencoba menenangkan dirinya dan menormalkan air mukanya, "Adek... Apa kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"
Kira mengangguk.
"Seberapa yakin kamu akan keputusan ini?"
"95 persen."
"Sisanya?"
"Melupakan semua hal tentangmu, tentang kita, tentang semua yang pernah terjadi di masa lalu."
Rizky tidak menduga atas apa yang baru saja dia dengar. Dia terduduk di sofa, menunduk dengan wajah kecewa, "Begitu, ya?..."