Siang itu Rizky dan Haris menuju masjid untuk sholat dzuhur. Dengan keraguan, Rizky bertanya kepada Haris sambil menyetir, "Mmm.. Mas? Anu..."
"Ada apa, Ky?"
"Maaf nih, setahu saya, Mas bukannya pernah suka ya sama Diana?"
"Iya..."
"Sampai sekarang?"
"Ndak, itu dulu."
"Kenapa berubah?"
"Karena Allah Maha Membolak-balikkan Hati."
"Maksudnya?"
Haris menghela nafas, sambil menatap ke depan, "Hhhaahhh... Entahlah, Ky. Sejak Mas tahu kamu dan Kira sedang ada konflik setelah orang tuamu pulang dari Bosnia dan Mas menginap di rumahmu, Mas merasa Diana ingin menghancurkan rumah tanggamu dan merebutmu dari Kira."
"A-apa?" Rizky terkejut. "Apa Mas tidak salah?"
"Awalnya Mas hanya menerka-nerka. Namun, semakin ke sini Mas semakin yakin. Hmm... Saat kamu sedang tidak ada di rumah, Diana selalu datang. Seperti biasa, dengan modus mengantar makanan, dia berusaha mengambil hati orang tuamu. Dan, seperti yang kau tahu, orang tuamu luluh dan ingin menjodohkan kalian berdua."
Rizky bungkam. "Jadi, ini sudah cukup lama?" Tanyanya.
"Kamu tahu tidak kalau Diana sudah menyukaimu sejak SMA?"
"S-suka?"
"Apa dia tahu kalau kamu ada di pesantren sejak tamat SMA?"
"S-saya tidak tahu, Mas."
"Diana sudah menyukaimu sejak SMA. Mas tahu itu langsung darinya saat dia datang ke rumah dan ngobrol dengan Mamamu. Hmmm, bukannya Mas ingin su'udzon dengannya, tapi, melihat akhlaknya yang seperti ini belakangan ini, Mas merasa hijrahnya dia untuk menutup aurat hanya karena dia tahu kamu ada di pesantren, Ky."
"Astaghfirullah.. Mas, ndak boleh berburuk sangka gitu, ah.. Niat seseorang kan hanya Allah yang tahu."
"Iya, benar, Mas tahu itu. Tapi, Ky..."
"Sudah-sudah.. Daripada pembahasan kita malah jatuh ke konteks ghibah, lebih baik kita sudahi saja. Jika tidak benar, alhamdulillah. Tapi kalau memang benar seperti itu, semoga Allah memberinya hidayah agar kembali meluruskan niatnya."
"Aamiin."
Mereka sudah tiba di halaman masjid.
"Mas, nanti pulangnya mau naik taksi, mau saya antar sampai rumah, atau mau ikut saya ke rumah sakit?"
"Waduh.. Opsinya banyak banget, ya, hahaha... Mas ikut kamu saja deh ke rumah sakit. Sudah lama juga gak lihat Kira. Mas rindu."
Rizky meliriknya tajam, "H-hei, apa maksudnya itu? Rindu apa?" Rizky kesal.
"Rindu senyumnya."
"Mas..." Tatapan Rizky seolah ingin menerkam.
"Cemburu nih ye, hahaha... Mas bercanda. Mas cuma ingin menjenguknya saja."
"Loh, kan nanti bisa di rumah?"
"Iya, kalau dokter sudah mengizinkannya pulang. Kalau belum?"
"Benar juga. Oke deh.."
Di rumah sakit...
Ali melihat wajah Gunawan yang khawatir. Dia mengajukan pertanyaan untuk memecah keheningan, "Jika Kira sudah resmi bercerai, apakah Papa akan mencarikan calon suami yang baru untuknya?"
"Papa tidak tahu. Papa tidak pernah berpikir ke sana. Karena Papa merasa pernikahan mereka bisa awet sampai maut yang memisahkan."
Ali mengangguk.
"Tapi, kali ini takdir Allah berbeda dari apa yang Papa harapkan. Dan, Papa belum siap menghadapinya, bagaimana dengan Kira? Hati dan batinnya pasti sakit."
Ali hanya diam.
"Papa harap, Rizky dapat berpikir jernih dan membatalkan semuanya."
Saya juga berharap begitu, Pa. Karena untuk sekarang, saya sudah mengikhlaskan semuanya. Kira adalah adik kandung saya, dan kebahagiaan juga menjadi tanggung jawab saya. Batin Ali.
TOK TOK... Suara ketukan pintu menyadarkan Gunawan dari lamunan. "Assalamu'alaikum, Pa, Al..." Sahut Rizky yang baru sampai di rumah sakit.
"Wa'alaikumussalam.. Oh, sudah sampai.." Balas Gunawan.
"Ini, saya bawakan makan siang untuk kita semua." Kata Haris.
"Kalian ke sini pakai baju seperti itu, habis sholat?" Tanya Gunawan.
"Iya, Pa. Tadi setelah dari masjid kami langsung ke sini."