Lelaki Pilihan

Syafaa Dewi
Chapter #48

[2] - SEJARAH DAN RASA

Petang itu di Australia, Caca dan Dara sedang liburan, menikmati sunset di Pulau Fraser, menghilang sejenak dari kesibukan Kota Sydney. Sejak mereka wisuda, Dara segera melanjutkan S2-nya ke Australia sekaligus mengejar cinta sejati yang lebih dulu pergi, Ivan. Sementara, Caca menetap di sana untuk menjalankan bisnis keluarga. Dua anggota The Girls yang lain, yakni Luna dan Pika juga melakukan hal yang sama, hanya menjalankan bisnis yang sudah diwarisi secara turun-temurun. Mereka berpisah, Luna di Jerman, sementara Pika di Finlandia.

Orang tua Ivan dan Caca adalah campuran. Ibunya -Sarah- asli orang Indonesia, sementara ayahnya -Steve- asli orang Australia. Sarah kuliah di Universitas Sydney, sedangkan Steve di Universitas Melbourne. Mereka bertemu saat tergabung dalam perkumpulan mahasiswa nasional dan internasional yang sama, hanya saja Sarah sebagai anggota dan Steve adalah founder dari perkumpulan itu.

Kegiatan yang cukup padat membuat mereka sering bertemu. Sejak dulu Steve sangat tertarik dengan negara Indonesia dengan segala keeksotisannya. Dan dia dapat menemukannya di wajah Sarah. Singkatnya, mereka saling jatuh cinta dan menikah. Sarah pun menetap di Australia sekaligus menjalankan bisnis manufaktur milik Steve, Advance Corporation, yang saat itu masih usaha yang berskala kecil. Dengan usaha gigih, akhirnya saat ini perusahaan merekalah yang menempati puncak pasar hingga penyumbang devisa terbanyak di negara Australia berkat produk-produk mereka yang sudah menyebar ke seluruh dunia.

...

Caca dan Dara duduk di pinggir Pantai Fraser, "Eh, Luna sama Pika apa kabar, sih?" Tanya Caca memulai obrolan sembari menikmati angin pantai.

"Gak tahu gue... Sejak kita berpisah dan sama-sama menjalani bisnis keluarga, kita jadi jarang komunikasi, kan?" Jawab Dara. "Gue aja yang ogah. Cinta itu harus dikejar, karena cinta lebih baik daripada uang."

"Yeee... Dasar!" Caca menyiram Dara dengan air. "Memangnya hubungan lo sama Ivan gimana? Ada perkembangan, gak?"

"Ya, lo kan tahu sendiri kalau Kakak lo itu gagal move on. Hatinya masih milik Kira. Gue bisa apa?" Dara menunduk sembari bermain pasir. Dengan tatapan ke depan, ia berkata dengan suara lirih, "Kadang gue takut sama pilihan gue. Di satu sisi gue cinta sama Ivan. Gue bela-belain kena marah Papa Mama seharian karena lebih memilih kuliah di Australia daripada di Perancis bersama mereka di sana, semua agar jarak gue dan Ivan gak semakin jauh lagi..."

"Sisi lainnya?"

"Di sisi lain, gue takut kalau semua yang gue lakuin ini sia-sia ke depannya. Lihatlah, sudah lama sejak kita datang ke sini (Ausy), tapi sedikitpun dia tidak pernah melihat ke arah gue. Hm, jangankan melihat, menoleh saja pun enggan." Dara mengambil kerikil kecil, "Padahal dia dekat, tapi kenapa terasa sangat jauh dan sulit kugapai?" Katanya sembari melempar kerikil itu ke laut.

"Hmm... Gue juga gak ngerti sama Ivan, bagaimana bisa bertahun-tahun tidak melirik ke arah lain? Padahal umurnya sudah pas untuk menikah, tapi tidak ada satupun wanita yang berhasil dekat dengannya dan meraih hatinya."

"Apa gue nyerah aja ya, Ca?"

"Sudah sejauh ini. Gak sayang, apa? Tunggulah sebentar lagi."

"Selama ini gue pikir dia berubah atau kepercayaan gue yang sudah menghilang. Ternyata tidak. Semua itu karena keserakahan gue yang ingin mempertahankannya sampai akhir. Padahal gue tahu itu gak akan berhasil, bodohnya, gue tetap aja maksa. Jadi gini, kan... Hati gue sakit karena ulah gue sendiri." Dara kembali memainkan pasir.

Caca ikut risau, "T'rus lo mau apa? Pergi ke Perancis?"

"Memangnya gampang? Nyokap Bokap gue marah besar, yakali dengan gampangnya gue bilang mau balik ke sana tanpa merasa bersalah."

"Heh, memangnya mereka lupa kalau lo anaknya?"

"Apa lo juga lupa kalau gue anak broken home?"

"Gue juga."

"Juga? Juga apanya? Orang tua lo kan baik-baik aja?"

"Gak dapat kasih sayang yang utuh juga termasuk broken home, Dar. Kan memang itu intinya. Belasan tahun gue dan Ivan ditinggal ortu yang sibuk membangun bisnis di sini, eh bukannya kami dibiarkan tinggal bersama mereka, kami malah dititip ke Om Rendi di Indonesia. Mereka cuma transfer uang ke Om tiap bulan untuk biaya hidup kami. Hingga kami SMA, baru deh ortu kami membeli rumah beserta ART-nya untuk melatih kami agar mandiri. Gila, kan?"

"Duh, kok jadi bahas keluarga, sih..."

"Lo sih, duluan... Gue bahas apa, lo jawab apa. Kita kan ke sini mau liburan, jadi ayolah senang-senang."

"Iya, ayo-ayo!!!"

Mereka bermain air, berfoto ria, menghabiskan waktu di sana untuk sejenak melupakan beban di hati yang kian mengusik.

"Eh, Kira apa kabar ya, Ca? Terakhir kita pergi bukannya dia sudah lahiran?"

"Iya ya.. Mungkin sekarang anaknya berumur empat atau lima tahun gitu deh."

"I think so..."

***

Petang lainnya di Sydney...

"Sudah selesai semua, Van?" Tanya Sarah yang hendak memulai presentasi.

"Sedikit lagi, Ma." Kata Ivan yang sedang memasang proyektor.

...

"Yap sudah. Video conferencenya juga sudah menyala, Ma." Kata Ivan.

"Baik... Mama mulai, ya..."

Ivan mengangguk.

"Assalamu'alaikum... Selamat sore, Bu Rani." Sapa Sarah.

Ra-Rani? Ivan tersentak. Mertua Kira, bukan?

Lihat selengkapnya