Sydney, 11.30 PM.
Di sebuah rumah minimalis, terlihat Caca yang baru sampai sepulang dari liburannya bersama Dara.
TING NONG! Dia menekan bel. Sepi banget... Batinnya. Dia mencoba membuka pintu, dikunci lagi.. Kemudian, dia mengambil ponselnya, "Kak, lo di mana?" Dia menelpon Ivan.
"Di kamar."
"Lo di rumah? Buka pintunya. Gue di depan, nih."
"Bentar."
Beberapa saat kemudian, Ivan membukakan pintu untuk Caca.
Ica ke dapur, mencari minuman dingin. "Mama Papa mana?" Tanyanya sembari membuka kulkas.
"Katanya masih ada rapat dengan para investor." Jawab Ivan sembari menyalakan TV.
"Oh, pantas saja lo kunci pintu, takut ada maling, ya.."
"Cuma waspada saja... Habisnya gue sendirian di rumah."
"T'rus, kok lo gak ikut?"
"Gue semalam udah rapat untuk proyek baru di Bosnia."
"Bosnia? Jauh banget?"
"Iya, itu permintaan client besar kami."
Caca membuka botol minuman dan duduk di sofa, "Memangnya siapa client-nya? Dari mana?"
"Rizky, Indonesia."
"Ppppfffttttt!" Refleks, Caca menyemburkan air dari mulutnya ke wajah Ivan.
"Jorok banget, sih!" Ivan kesal.
"R-Rizky suaminya Kira?" Tanya Caca, memastikan.
"Iya." Jawab Ivan sembari membersihkan wajahnya dengan tisu.
"Sumpah lo? Kaget nih gue."
"Gue juga kaget pas tahu kalau dialah client besar kami. Perusahaannya, Foody akan membuka lahan besar-besaran di Bosnia, karena di sanalah perusahaan pusatnya. Dia bekerja sama dengan perusahaan kita dalam hal alat berat." Jelas Ivan.
"Jadi, kapan kalian pergi?"
"Lusa."
"Lah, cepat banget?"
"Yaaa.. Seperti itulah permintaan client, kita gak bisa apa-apa selain manut."
"T'rus, gue sama siapa di sini?"
"Cuma gue sama Mama yang pergi. Papa tetap tinggal."
"O-oh.. Berapa lama?" Tanya Caca sembari meminum minumannya lagi.
"Sebulan."
"Ppppffttt!"
Ivan disembur lagi.
"Ca! Lebay banget, sih... Jorok!" Ivan kesal.
"Ya, sorry, habisnya gue kaget. Lama banget sebulan?"
"Kan gue udah bilang dari awal, ini proyek besar dan mereka ingin cepat selesai. Sebulan sih belum ada apa-apanya, itu masih tahap awal pembukaan lahan aja sekaligus mengurus beberapa persyaratan di sana." Jelas Ivan sembari membersihkan wajahnya dengan tisu lagi.
"Sisanya?"
"Gak tahu gue. Belum ada rapat lanjutan sampai tahap awal selesai."
"O-oh, okey."
Ivan hanya diam menyaksikan acara TV.
"Jadi, Rizky udah tahu kalau kalian bekerja sama?" Tanya Caca lagi.
"Kayanya sih udah..."
"T'rus lo gimana?"
"Gimana apanya? Biasa-biasa aja gue..."
"Yakin?"
Ivan melirik tajam, "Mau lo apa, sih?" Tanyanya, kesal.
"Hahahaa... Gak ada niat untuk nikung?"
"Gila lo, ya. Dosa tahu." Ivan kesal.
"Oiya, sesaat gue lupa kalau lo udah taubat." Ejek Caca.
"Iya, alhamdulillah. Lo kapan?"
Skakmat.
"K-Kak... Ini ada oleh-oleh waktu gue liburan." Kata Caca, mengalihkan pembicaraan sambil membongkar kopernya.
"Kalau udah bahas ginian aja langsung pura-pura gak tahu lo, kan..."
Caca menghiraukan pertanyaan Ivan, "Nih, ada boneka koala sama gantungan kunci dari Dara."
Ivan tertegun, "Dari Dara?"
"Iya. Katanya dia beli bonekanya sepasang. Satunya lagi dia yang pegang. Berharap nantinya lo berdua bakalan jadi pasangan juga."
"Teori dari mana, tuh?"
"Gak tahu gue. Dara kan emang suka lebay. Simpan sajalah."
"Okey, thanks."
"Btw... Kapan sih lo mau buka hati lo untuk Dara?"
Ivan mematikan TV, "Gue lagi malas bahas gituan, Ca."
"Belum bisa move on lo dari Kira?"
Mereka berdebat.
"Ck! Bukan masalah move on-nya, tapi masalah hati. Cinta kan gak bisa dipaksa."
"Setidaknya beri Dara kepastian. Jangan ngePHPin anak orang." (Read: Pemberi Harapan Palsu)