Lelaki Pilihan

Syafaa Dewi
Chapter #59

[2] IVAN POV (POINT OF VIEW)

Ali sudah pergi meninggalkan Bosnia hari ini. Tidak sempat menunggu Rizky kembali karena pesawatnya lepas landas di waktu pagi.

Sementara itu di Mostar, Ivan, Caca, dan Dara akan segera pulang menuju Sarajevo. Saat hendak berangkat, Ivan bertanya, "Ca, coba lo panggil Rizky, sejak tadi dia belum keluar juga dari kamar." Pinta Ivan yang sedang menyusun koper mereka di bagasi mobil. Sementara Dara ikut membantu.

Caca mengiyakan.

TOK TOK TOK!!! Gue manggilnya apa? Mas? Batin Caca, bingung.

Gapapa, deh... "Mas Rizky? Sudah ditunggu Kak Ivan tuh di bawah." Sahut Caca dari luar pintu kamar Rizky.

Tidak ada jawaban.

Apa gak dengar kali, ya?

TOK TOK TOK!!! Ketuknya lagi. "Mas Rizky?!!" Kali ini dengan nada suara yang lebih tinggi.

Masih tidak ada jawaban.

Kenapa gue jadi khawatir... Perasaan gue gak enak.

CKLEK! Pintunya gak dikunci.

Caca mengintip, "Maaf, Mas, izin masuk..."

KRIEETTT... Saat pintu dibuka...

"IVAAAANNNNN!!!!!!!!!!!" Teriak Caca dari dalam rumah. Sontak hal itu membuat Ivan dan Dara berlari menuju sumber suara.

"Ada apa, Ca?" Tanya Ivan yang begitu panik.

"I-Itu... R-Rizky..." Wajah Caca pucat, suaranya gemetar.

Ivan melihat arah yang ditunjuk Caca, didapatinya Rizky yang terbaring di lantai dengan darah yang begitu banyak keluar dari hidungnya. "Dar, telpon ambulans." Pinta Ivan dengan dingin.

"B-Berapa nomor ambulans di Bosnia?" Dara gugup.

"124."

"O-Okey."

Karena tertekan, mereka semua hanya menunggu ambulans datang menjemput, padahal akan lebih cepat jika mereka pergi segera dengan mobil pribadi yang ada.

Beruntung rumah sakit tidak begitu jauh dari tempat penginapan, karena itu, tidak lama kemudian ambulans datang. Mereka semua panik dan segera pergi ke rumah sakit.

***

Sarajevo, 08.30 a.m.

"Huummm... Wani ayi, Mi.. Umi macak apa?" Tanya Aisyah.

"Umi lagi bikin bumbu kacang untuk sate ayamnya, Sayang.. Sebentar lagi kan Abi pulang..." Jawab kira dengan bahagia.

"YEEAAYYY!!! Abi mau puyaaannn!!!" Sorak Aisyah, kegirangan.

Kira hanya tersenyum.

...

..

______

*Sudut pandang Ivan

...

Setelah kami membawa Rizky ke rumah sakit, Dokter memeriksanya. Katanya, epistaksis/mimisan dalam jumlah banyak yang terjadi pada Rizky, menandakan bahwa kanker otak yang dialaminya sudah cukup besar, sehingga menekan jaringan sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.

Aku, Caca, dan Dara sangat terkejut dan hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuk kondisi Rizky. Tidak ada satupun dari kami yang tahu bahwa dia mengidap kanker otak sejak beberapa bulan yang lalu. Hal itu membuat kami seolah menjadi orang paling bodoh di dunia. Terlebih aku. Saat menghabiskan waktu dengannya beberapa hari belakangan, aku tahu kalau kondisinya tidak baik, namun, dia tetap saja menimpali kalau dia baik-baik saja, dan bodohnya, aku selalu percaya dan tidak menaruh curiga.

Kini, dia mulai sadar setelah melewati masa kritis. Aku berada di dalam kamarnya untuk berjaga-jaga, sementara Caca dan Dara memutuskan untuk pulang menenangkan diri atas kejadian yang baru saja terjadi. Mereka shock.

Saat aku melihat wajahnya yang pucat dan lemas tak berdaya, tadinya aku merasa bahwa aku hanya menjadi penghalang bagi hubungan orang yang bahkan sudah resmi dalam hukum dan agama. Tapi, saat itu, di hari yang sama, seseorang mulai membuka matanya yang sayu sambil menggenggam erat tanganku, "Kemarilah. Mendekat padaku sebentar. Ada yang ingin kusampaikan padamu." Begitu pintanya.

Dia membisikkan sesuatu di telingaku yang kini tepat berada di samping mulutnya.

 "...."

Aku terkejut.

Ia mengatakan sesuatu yang membuat ilusi seolah menjadi nyata.

Aku menjauhkan tubuhku darinya yang sedang terbaring di kasur rumah sakit, "K-kau be-bercanda, k-kan?!" Mulutku bergetar, tidak percaya.

"Aku serius..." Kata lelaki itu pelan. Ia terus mencoba berkata dengan nada suaranya yang lirih. 

Aku melihat kesungguhan itu dari caranya yang berusaha meyakinkanku.

"Jangan bergerak dulu. Kau belum pulih." Kataku setelah melihatnya mencoba duduk dari pembaringan.

Lihat selengkapnya