Lelaki Pilihan

Syafaa Dewi
Chapter #62

[2] SHOCK

"Dan pada setiap cinta yang berakhir, akan selalu ada kisah baru yang segera terukir." -Author.

_____________

Hanania Residence sedang berduka. Rumah bernomor 21 B itu mulai ramai pelayat. Semua memakai baju serba putih. Sehelai bendera merah terpasang di pagar rumah. Ucapan turut berduka cita yang tertulis di karangan bunga pun ikut serta mengharukan suasana.

Tangis yang menjadi background suasana memenuhi seluruh ruang rumah itu. Staf kantor, teman 'seperdagangan', para santri pondok, semua merasakan kesedihan atas kepergian yang tak terduga. 

Haris terduduk di bangku halaman depan. Seolah tak menghiraukan siapapun di sekelilingnya. Ia terdiam, menunduk lesu.

Bahagiamu terlalu singkat dalam bahtera yang baru saja kau arungi. Cintamu masih terlalu mudah untuk dijajah. Pahitnya hidupmu menuntut keadilan atas bahagia kini sudah tercapai karena Allah telah menghadirkan wanita dan putri yang cantik 'tuk melengkapinya. Namun, sebagaimana Dia sudah mengabulkan do'amu, Dia-pun berhak memintanya kembali untuk dipertanggungjawabkan...

Haris menatap langit, ..Kau terlalu pandai menyembunyikan sakit, padahal kau sendiri tahu akibatnya. Apakah kau sesantai itu membiarkan orang di sekelilingmu merasa tak berguna seperti ini? Sebenarnya, kami ini kau anggap apa, Ky?... Ia terdiam sejenak.

... Jika tidak mampu menanggung beban, katakan. Jika tidak kuat menahan sakit, sembuhkan. Jika tidak mau kehilangan, kabarkan. Sesederhana itu. Namun, egomu terlalu besar agar tak ingin merepotkan. Padahal dengan begitu kau membuatku seolah sangat tak berarti apa-apa. Haris kembali menundukkan kepalanya seolah merasa bahwa kepergian Rizky adalah tanggung jawabnya.

PUK! 

Seseorang menepuk pundak Haris. "Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Ini sudah takdir Allah." Kata Kyai yang tiba-tiba datang dan langsung duduk bersebelahan dengannya. 

"Eh? Kyai, toh.." 

"Kyai juga terkejut atas kematian Rizky yang tiba-tiba, Ris. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Sesal tiada berguna. Jangankan kamu, istrinya sajapun tidak tahu kalau selama ini dia mengidap kanker otak. Lelaki itu benar-benar seperti manusia pilihan. Ia sangat pandai menutup celah dari siapa saja agar tak ingin menjadi beban. Padahal dengan harta yang ia punya bukankah seharusnya ia bisa sembuh dengan operasi atau alternatif pengobatan lainnya sekalipun biayanya besar?" Tanya Kyai, penasaran.

"Dari info yang saya dapat, Rizky sama sekali tidak menghiraukan sakit kepala yang dialaminya beberapa waktu belakangan, Kyai. Seolah ia menganggap itu adalah penyakit yang mampu ia hadapi sendiri tanpa pengobatan. Sampai pada akhirnya sakit itu tak tertahankan dan ia dilarikan ke rumah sakit seminggu yang lalu. Di sana, Dokter mengatakan sudah sampai stadium empat, kemungkinan sembuh sangat kecil. Begitu, Kyai." Jelas Haris. 

Kyai hanya mengangguk. "Hm.. Lalu bagaimana dengan istrinya? Kenapa tadi Kyai hanya melihat putrinya saja?" Tanyanya.

"Kira... Dia masih di rumah sakit, masih shock atas kematian Rizky yang tiba-tiba. Katanya, saat di Bosnia, dia sempat membuat seisi rumah sakit gaduh karena teriakan dan kehebohannya akibat insiden percobaan bunuh diri."

"Astaghfirullah... Dia mau bunuh diri?!" Kyai terkejut.

"Iya, Kyai. Ia ingin terus bersama Rizky, hidup dan mati. Begitulah perspektifnya." Jelas Haris.

"Innalillah.. Kasihan wanita itu."

Tidak lama, sebuah mobil datang. Seorang pria memakai kaca mata hitam dengan kemeja yang berwarna selaras keluar dari mobil itu. Tidak lain dia adalah Ali.

Dia berjalan dengan langkah pelan dan tak memperhatikan sekitar. Berjalan pelan... Pelan... Pelan.

BRUK!

Ia bersimpuh di teras rumah kemudian membuka kacamatanya dengan lemas. Matanya sembab. "Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un." Ucapnya.

Seorang pria turut hadir bersamanya, tak lain adalah ayah 'angkatnya' sendiri, Fauzan. "Saya turut berduka cita atas meninggalnya menantu Bapak." Ucap Fauzan kepada Gunawan.

"Terima kasih sudah menyempatkan waktu ke sini, Pak Fauzan." Balasnya.

Ali menoleh, "Pa, di mana adikku? Dimana Kira?" 

"Adikmu masih di rumah sakit, Al. Dia shock sampai ingin bunuh diri. Dia butuh penanganan Dokter."

Ali menaikkan kedua alisnya, terkejut. "APA?! MAU BUNUH DIRI?!" 

Gunawan mengangguk. 

"Ada di rumah sakit mana, Pa? Biar Al susul."

Lihat selengkapnya