Kau benar, Mas. Ikhlas bukan tentang melupakan, tapi melepaskan. Terima kasih sudah menuliskan buku ini untukku. Batin Kira yang sedang membereskan barang-barangnya di rumah sakit.
KRIEETT... Pintu terbuka. Seseorang baru saja masuk. "Ra... Apa kabar?" Sahutnya.
Kira berbalik, "Eh? Da-ra..."
Dara yang datang dengan pasmina ungu melemparkan senyum tipis pada Kira.
"Kamu sudah berhijab sekarang? Alhamdulillah. Ini kejutan buatku loh, Dar." Kata Kira.
Dara duduk di pinggir kasur Kira, "Y-yaa... Gue baru aja pakai, sih... Sejak di Ausy dan mau berangkat ke Bosnia."
"Bosnia?"
"Gue juga ketemu Rizky di sana. Kami jalan-jalan ke Mostar, Konjic, dan beberapa tempat lainnya di Bosnia."
Kira hanya diam, ia tertegun.
"Apa lo lupa? Lo, Rizky, gue, Ivan, Caca, Tante Rani, bahkan sekretaris Rizky -Wira-, kita semua yang ada di Sarajevo waktu itu pulang dengan pesawat yang sama ke Indonesia dan membawa jenazah Rizky untuk dimakamkan di Jakarta."
Kira berpikir sejenak, "Aku tidak ingat." Katanya.
"O-oh... Ya, wajar, sih... Saat itu lo sedang depresi karena kehilangan Rizky."
"Hmm..."
"Sejujurnya kedatangan gue ke sini karena ada hal yang ingin gue bicarakan, Ra."
"Apa itu, Dar?"
"Kemarin, Ivan melamarku." Kata Dara, malu.
Apa dia wanita pilihan yang dibilang Ivan kemarin?
"Lalu?"
"Saat dia melamarku, saat itu pula dia bilang kalau ada seorang lelaki yang sudah meninggal dan berwasiat kepada Ivan untuk menikahi istrinya."
Dasar, Ivan. Dia tidak pandai melihat situasi.
"Siapa orangnya? Apa kamu kenal?" Tanya Kira, memancing.
"Tidak, Ra. Ivan tidak mengatakannya."
Kira berusaha menahan tawa, Apa kukerjain aja, ya?
"T'rus, kamu maunya bagaimana sekarang?"
"Gue gak tahu. Udah lama gue suka sama Ivan, Ra. Jujur, saat lo baru saja putus dengan Ivan dulu, gue udah suka sama dia. Dan sampai detik ini perasaanku padanya tetap sama meskipun dia menolakku berkali-kali."
"Hmm... Tapi, jika seseorang sudah berwasiat, berarti wasiat itu harus dilaksanakan jika tidak melanggar syariat agama, Dar." Kata Kira yang mulai menjalankan taktiknya.
"Iya, gue tahu. Gue juga bilang itu ke Ivan, tapi... Hati gue sakit banget rasanya, Ra. Ya, gue tahu memang saat itu Ivan pernah bilang ke gue kalau dia tidak akan bertanggung jawab kalau nanti gue sakit hati karena dia tidak membalas perasaan gue..."
Pas banget.
"... Lo tahu gak sih, Ra? Orang tua gue sampai memutuskan hubungan sama gue karena gue lebih memilih kuliah di Ausy daripada tinggal bersama mereka di Perancis untuk menjalankan bisnis keluarga. Semua itu gue lakuin karena gue gak mau jauh-jauh dari Ivan." Jelas Dara, gundah.
"Ya, apa mau dikata, Dar. Wasiat tetaplah wasiat. Lebih baik kamu sekarang mengikhlaskannya dengan sungguh-sungguh. Karena sebentar lagi dia akan menjadi suami orang lain."
"Terlalu berat. Lo bayangin gak, sih? Udah bertahun-tahun gue suka sama dia, menjaga perasaan ini untuknya, sampai orang tua gue murka karena gue membangkang, tapi ini hasil yang gue dapat? Tuhan gak adil banget!" Kata Dara, kesal.
"Astaghfirullah... Istighfar, Dar. Gak baik ngomong gitu. Bersabarlah sebentar lagi. Allah pasti telah menyiapkan skenario terbaik dari akhir penantianmu. Tidak ada usaha yang sia-sia." Kata Kira, menenangkan.
"I-Iya..."
Kira hanya tersenyum.
"Lo mau pulang, ya?" Tanya Dara.
"Ya. Hari ini aku pulang."
"Sama siapa?"
"Sendiri, naik taksi."
"Kakak lo mana? Ali? Atau yang lain? Tidak adakah yang akan menjemput?"
"Kak Ali sedang ada rapat di kantor. Tidak ada dari satupun mereka yang tahu kalau hari ini aku pulang. Aku sengaja tidak memberi tahu mereka karena ingin membuat kejutan." Jelas Kira.
"Yasudah, kalau gitu biar gue aja yang antar. Lo baru sehat masa iya pulang sendiri."
"Thanks, Dar."
"No problem."
...
Hanania Residence semakin tampak sepi sejak kepergian Rizky. Seorang gadis kecil sedang bermain masak-masakan di taman belakang rumahnya.
"Nek, Ica bocen main cendiyi. Biacana ada Abi yan temenin Ica."
Rani tertegun, "Hari ini dan seterusnya Ica main sama Nenek, ya..."
"Dak mau! Nenek cibuk main hape teyus." Aisyah berlari masuk ke dalam rumah.
Rani hanya diam, kebingungan.
Bukan maksud Mama meratapi kepergianmu, Ky, tapi... Semua hal yang berkaitan denganmu kini menjadi porak-poranda saat kau tiada.
TING NONG! Suara bel rumah menyadarkan Rani dari lamunan.
"Siapa yang pagi-pagi begini sudah bertamu?" Gumamnya.
Dan saat ia membuka pintu...
"Assalamu'alaikum, Ma." Sahut Kira yang berdiri di hadapan Rani dengan jilbab berwarna abu yang senada dengan gamisnya.
"Kira!" Rani langsung memeluknya. "Alhamdulillah kamu sudah pulang? Kok gak telpon Mama? Kan bisa Mama jemput?" Tanya Rani.
"Ra sengaja pulang diam-diam, Ma. Ingin memberi kejutan. Lagipula, Ra gak pulang sendiri kok, ada Dara yang sudah mengantar Ra."
"Assalamu'alaikum, Tante." Sapa Dara sembari mencium tangan Rani.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah..." Balas Rani. "Icaaa!!! Ica!!! Lihat siapa yang datang!!!" Teriaknya.
Aisyah menuju sumber suara, dilihatnya Kira berdiri di sana, "Umiiiii!!!!!!!" Teriaknya dari kejauhan sembari memeluk Kira.
"Hei, Sayang... Uh! Baru ditinggal beberapa hari, kamu sudah berat saja. Umi jadi gak kuat gendong kamu."
"Umi temana ajaaa... Ica yinduuu..."