Mbah Jaya Lelana, kakek moyang Yek adalah orang paling kaya di desa Pande. Ia melakukan migrasi sejak kolonial berhasil mengadu domba para raja di Madura, menyebabkan perang saudara yang tak ada akhirnya, dan memisahkan pulau tersebut ke dalam dua wilayah Barat dan Timur. Bahkan ketika wilayah Timur telah diperintah seorang Ratu yang memiliki sebelas putra, adik sang Ratu yang tak berputra melakukan kudeta, lalu menyerahkan kerajaan pada putra tirinya dan menyisihkan para keponakan kandungnya sendiri dari hak waris yang berasal dari ibu mereka.
Kakek moyang Yek, adalah keturunan dari salah satu dari sebelas putra Ratu yang terusir dari istana tersebut. Dalam pelarian, satu sama lain terpisah dan mendirikan pemukiman yang berada jauh di pedalaman. Menyembunyikan identitas keningratan, mengubah nama dan berbaur dengan rakyat kebanyakan, di manapun mereka berada. Meski secara fisik, ketampanan dan kecantikan tak mungkin disembunyikan. Penampilan mereka yang telah berubah, tidak lagi mengenakan kain sutera dan hiasan-hiasan khas anggota kerajaan, terkadang tetap dikenali. Karena itu, seiring waktu, mereka tidak lagi melakukan perjalanan-perjalanan. Demi keamanan dan keselamatan diri mereka dan anggota keluarga yang mereka lindungi.
Demikianlah secara turun temurun keluarga besar Yek, tinggal di rumah-rumah kayu jati yang besar dan kokoh di desa Pande. Dengan sedikit perhiasan yang ada, mereka membeli pekarangan dan hektaran sawah. Lalu mempekerjakan orang-orang desa, yang semakin terbiasa dengan keberadaan 'orang-orang dari Madura' yang kaya raya. Dan tentu saja, membawa perubahan secara ekonomi bagi rakyat jelata yang buta huruf dan seumur hidupnya tidak pernah melakukan perjalanan yang melintasi lautan. Bagi mereka, Madura bagaikan negeri dongeng yang ditinggali para dewa; bisa terbang dan berjalan di atas air.
Selama beberapa generasi, para leluhur Yek di desa Pande hidup tenang berkecukupan. Sebagai keturunan bangsawan, mereka tidak pernah bekerja sendiri. Akan selalu banyak orang yang akan menyediakan jasa sebagai orang upahan. Dan orang-orang upahan itu, warga desa asli, memiliki karakter yang mulia. Sangat patuh, pekerja keras, dan senantiasa penuh syukur. Tidak seperti orang-orang yang tinggal lama di pelabuhan. Penjajahan dan rumitnya situasi sosial, membuat kebanyakan orang pesisir hanya ingin bersenang-senang, dengan cara apapun.
Kakek moyang Yek yang salih dan berpengalaman, sangat menyukai lingkungan pedalaman yang masih murni tersebut. Secara turun temurun ia mendidik anak cucu keturunannya dengan puasa mutih dan tirakat. Dan di masa yang serba tak pasti akibat penjajahan itu, tak seorangpun kaum keturunan bangsawan yang melupakan ajaran-ajaran para leluhur mereka yang sakti dan digdaya, meskipun mereka berlatih secara diam-diam dan menyembunyikan kemampuan mereka dari khalayak umum.
Selama satu abad sejak meninggalkan kepulauan, dan menyepi di pedalaman yang asing, para leluhur Yek hidup tenang dalam kewaspadaan. Bahkan peperangan yang berkecamuk selama tahun-tahun perebutan kemerdekaan, kakek nenek yang menurunkan ayah Yek, tetap bertahan hidup dengan cara-cara sebagaimana ayah dan ibu mereka menjalaninya.
Lalu Indonesia merayakan kemerdekaan yang gegap gempita di seluruh penjuru tanah air. Astro, ayah Yek, yang kala itu masih seorang pemuda yang haus akan kebebasan, meninggalkan desanya yang sunyi untuk bergabung bersama para pemuda kota yang berkonvoi di jalan raya. Segera saja ia berada dalam lingkaran pertemanan elit kota, menyerap semua informasi dan pengetahuan paling mutakhir. Setelah beberapa tahun, ia kembali ke desa Pande dengan sekeranjang mimpi dan tujuan-tujuan mulia. Astro yang berpikiran revolusioner mulai berkeliling desa bersama teman bisnisnya dari kota. Ia ingin memulai bisnis seraya memberdayakan warganya yang jelata. Sebuah bisnis yang belum dimulai siapapun.