Yek tumbuh bersama mimpi-mimpi ibunya. Sampai lulus sekolah dasar, ia membuat dirinya tetap terlihat klimis dan rapi. Lalu ia kehilangan wanita yang telah melahirkannya karena sebuah wabah. Hari-hari menjadi sangat sulit dan tak tertahankan. Kelaparan yang telah memerangkap warga desa selama bertahun-tahun, ditambah pandemic, bagaikan mimpi buruk yang datang menghantui setiap malam dan setiap saat. Orang-orang mati bergelimpangan di pagi hari setelah semalaman menahan sakit dan nyeri. Para orang tua yang memiliki cukup uang kemudian membeli bawang putih dan lempuyang di pasar. Lalu menjadikan tumbuhan tersebut sebagai kalung bagi anak-anak mereka yang masih selamat. Mereka juga menggantungnya di atas kusen pintu rumah.
Di mushalla, Kyai Husni mengajari anak-anak dzikiran Lii Khamsatun. Yek yang telah lulus SD mendapat tugas membimbing santri-santri yang lebih kecil. Setelah disunat, Yek tumbuh menjadi anak remaja yang tampan. Perawakannya langsing, tinggi, dan berkulit bersih. Kyai Husni demikian memperhatikan Yek yang cerdas dan paling cepat memahami pelajaran yang ia sampaikan.
Lalu keadaan menjadi semakin buruk. Ayahnya sakit-sakitan dan kedua kakak lelakinya pergi ke kota tapi tak pernah kembali. Yek yang masih remaja sedemikian gundah. Ia berharap mendapatkan bantuan makanan, tapi kanan-kirinya bernasib menyedihkan sebagaimana keluarganya. Sepanjang hari ia berkeliling desa mencoba mendapatkan pekerjaan yang diberi upah makanan. Sayangnya, tak ada apa-apa di kampungnya.
Malam harinya Yek mengunjungi seorang teman di desa tetangga. Saat ia tiba, temannya sedang mengikuti pertemuan sekumpulan laki-laki yang dipimpin ayah temannya itu.
“Ayo duduk,” ajak temannya dengan santai.