Lelaki yang Membunuh Kenangan

Bentang Pustaka
Chapter #1

Prolog

Desau angin malam yang dingin membelai ranting-ranting rapuh dan dedaunan kusam, mengingatkannya pada keindahan Tanah Air. Sama seperti dulu, ia masih menggemari lagu-lagu Barry Manilow. Meski sudah dua puluh tahun lebih, malam tua dan kerlingan mesra sang bulan tetap membuatnya hampir terbunuh kenangan. Mereka sama-sama mengagumi suara romantis penyanyi itu.

Mungkin ia yang bersalah. Basri memang merasa dosa-dosa itu begitu mengancamnya. Setiap saat. Setiap waktu. Ingatan tentang penderitaan dan keadaan Tengku Valizah begitu menyiksa.

Akan tetapi, seingatnya, dulu cinta dan kasih sayang mereka begitu indah dan menyenangkan. Basri bahkan sama sekali tak memercayai kata-kata Rita.

“Cintamu, cinta yang bersemi pada masa-masa kerusuhan. Cinta di masa itu tak akan bisa bertahan lama.”

Dan, kini ia merasa sangat tertekan. Kalau saja ia tak meninggalkan Malaysia, tentu alur sejarah cinta mereka akan berbeda. Betapa menyesalnya ia. Setelah dua puluh tahun berselang, ia masih ingat setiap kata yang diucapkan Val, tunangannya. Kata-kata yang bernas. Kata-kata cinta yang penuh pengorbanan. Argh, seandainya ia selalu meyakini hal itu.

“Selama bangsa kita tidak membuang jauh-jauh otak feodal yang terpatri dalam jiwa raga ini, selama itu pula kita tak akan mampu menyaingi bangsa lain. Kita sudah menerima pemikiran seperti itu sejak zaman Kesultanan Melayu. Terlalu kukuh dan susah dilepaskan. Ketaatan dan kesetiaan begitu mudah ditukar dengan materi. Inilah ciri otak feodal yang membuat kita bodoh dan kotor. Penyebab begitu rendahnya martabat bangsa kita.”

Sejak pulang dari Kuala Lumpur, rasa bersalah membelenggu batinnya. Belum lagi kelebatan wajah Basariah yang bermain di dalam benaknya, silih berganti dengan bayangan Valizah yang membelalak ketakutan. Semua bersatu menyiksa Basri. Keluyuran di Burlington Arcade tetap tak membuatnya tenang. Bahkan, Trafalgar Square yang dijuluki oleh William Pitt The Elder sebagai paru-paru London pun tak mampu memadamkan kegelisahannya. Craig sempat menyarankan agar ia berjalan-jalan di tempat asing nan mewah di ujung barat London ....

Piccadilly

Bond Street

Regent Street

Berkeley

Grosvenor Square

Mayfair

St. James

Akan tetapi, semua itu tak membantunya keluar dari kemelut. Ada dosa yang harus ditanggung. Ia berharap Basariah memahaminya. Atau, haruskah ia memohon kepada Valizah untuk memaafkannya?

Basri duduk bersandar di kursi goyang saat Craig yang tampak gusar mengerling kepadanya. Kopi di cangkir berombak kala ditiup, membubungkan uapnya ke udara, lalu kehangatannya menyerbu wajahnya. Kipas angin yang menempel di atap berputar lincah. Wajah Craig resah. Buku harian dan lembaran-lembaran surat kekasih yang teraniaya? Jangan-jangan benar bahwa kepercayaannya terlalu rapuh?

Lihat selengkapnya