Moskwa
Oktober 1996
“Bundamu sakit-sakitan. Banyak hal yang ingin diingatnya, tapi banyak juga yang mau ia lupakan. Melihat keadaan beliau sekarang, Ayah akan bahagia jika Bas memaafkan dan menjenguk Bunda saat liburan akhir tahun ini.”
Kalimat Raja Hisyamudin, ayahnya, tiba-tiba memenuhi pikiran Basariah. Lekat di dinding benaknya. Ia dapat merasakan bahwa ayahnya sangat berharap kepadanya. Dua hari sebelumnya, saat baru tiba di Bandara Moskwa, ia mengira akan melalui liburan yang indah. Ayahnya kebetulan sedang punya urusan bisnis di Eropa Timur dan Rusia. Sementara itu, kuliahnya libur dua pekan. Cocok! Dan, tentu tak sulit baginya terbang dari London ke Moskwa kalau ada sponsor, bukan?
Rupanya situasi dan kondisi yang kali pertama tertangkap oleh matanya cukup membuatnya gelisah. Pohon-pohon birch gundul tanpa tahu musim. Udara dingin nan lembap. Manusia berbaris berderet-deret demi mendapatkan persediaan selama musim dingin. Di mana-mana terekam jejak kesulitan dan kegelisahan. Untunglah Benteng Kremlin tetap terlihat tenang. Seperti rencana Anna Mikhaylovna, mereka masih sempat melihat-lihat Universitas Moskwa di Moscow Heights. Poster-poster lusuh Gennady Zyuganov, Presiden Partai Komunis yang menentang Boris Yeltsin dalam pemilihan presiden beberapa bulan lalu, masih terpampang di dinding-dinding permukiman murah. Beberapa sudah disobek ujungnya.
Sejak masih di Heathrow, Norish sudah menakut-nakutinya. “Hei, jangan sampai menggila di sana, ya!”
“Hei, ini bukan masa Perang Dingin, lho,” sergah Anna seraya membeliakkan bola mata hijaunya yang menawan.
“Eh, eh, sekarang di Chechnya panas, lho!”
“Dia bukan mau ke Grozny, lah!”
“Kematian Dudayev akan dituntut oleh Syamil Basayev. Moskwa pasti akan kacau, tak aman lagi. Bom di mana-mana!”
“Sudah, sudah! Kalian berdua jangan ngomong yang aneh-aneh!” sergah Basariah. Ia merasa terhibur oleh celoteh dua temannya itu. “Satu pengalaman terjebak pengeboman kurasa sudah cukup, lah!”
“Takut bom atau takut merindukan Abang Basri?” Tiba-tiba Normah menyahut sambil tergelak. “Aku yakin kau pasti sangat merindukan abangmu itu.”
Tawa riuh memenuhi ruangan.
“Halah, cuma tiga hari lho, Norm. Aku belum separah itu.”
Mereka terus bercanda.
“Kupikir inilah saat yang tepat untuk memberi tahu ayahmu. Jangan sampai lupa, ya!” seru Norish seraya menahan tawa.
Akan tetapi, tidak ada yang menyangka bahwa di bawah pohon birch gundul di taman Moscow Heights, Ayah membahas hal lain dengan wajah serius.
“Bundamu memerlukan bantuan, Nak. Perlu perhatian besar darimu. Ayah tak punya banyak waktu. Akan lebih baik jika kau mau melupakan kenangan pahit pada masa lalu. Pahamilah Bunda.”
“Tak mudah bagi Bas untuk menerima perempuan itu, Ayah!”
“Dia bundamu, Bas.”
Basariah terdiam penuh tanya. Mengapa saat ini ayahnya meminta untuk menerima kembali Tengku Valizah sebagai ibunya?
“Bunda mengidap skizofrenia.”
“Dan, itu menjadi alasan supaya Bas menerima perempuan gila itu?”
“Bas ... jaga sikap dan tutur katamu! Dia bundamu!” Wajah Raja memerah menahan marah. Sejurus kemudian mimiknya berubah penuh sesal. “Mungkin Ayahlah yang bersalah karena sudah memisahkanmu dengan Bunda.”
“Bunda tak pernah mau menerima Bas, Yah.”
“Bas, tolonglah. Jangan tambah dosa Ayah.”
Dosa? Dosa apa? Pikiran Basariah kian kalut. Ia tahu ada penderitaan di sana. Ada cerita yang disembunyikan.
Mereka berjalan di Medan Seni Arbat. Tak ada yang menarik perhatian. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Raja merasa ada yang tersekat di pita suaranya. Dosa masa lalu masih tersimpan rapi sebagai sebuah rahasia besar. Tak ada yang tahu bahwa dialah yang merampas semua kebahagiaan dan keceriaan Valizah. Memang kejam.
Pikiran Basariah bergejolak. Pertanyaan demi pertanyaan tentang Bunda membuatnya gusar. Ia yakin, ada hal yang ditutupi selama dua puluh tahun ini. Namun, tiba-tiba senyuman khas pada wajah redup dan mata bersinar Basri membelai benaknya. Meronta-ronta, memintanya mengatakan kepada Ayah tentang cinta yang mekar di hati. Tunggu sampai ada kepastian dari Basri, bisik hatinya.
Lalu, apa maksud jangan tambah dosa Ayah? Kalimat ayahnya itu membuatnya ragu akan kasih sayang yang ia terima selama ini. Namun, benarkah Bunda benar-benar membencinya? Ibu macam apa yang memusuhi anak sendiri?
Dalam kamarnya di Hotel Moscow International, Basariah kian resah. Ayah menghilang seharian setelah pamit kepadanya hendak mengurus penandatanganan MOU bersama perusahaan batu bara di Siberia. Bayangan Bunda kembali hadir. Tubuh tinggi dan kurus, rambut pirang, mata bulat, bibir penuh kemerahan, pipi gembil merona, tahi lalat di dagu, alis tebal, serta kulit yang cerah. Ia tahu, ia mewarisi semua kejelitaan itu.
Sayangnya, ia tak memiliki kenangan manis tentang sang Bunda. Hanya teriakan, jeritan, gertakan, dan bentakan yang kekal di benaknya, tak terhapus bahkan hingga ia dewasa. Sikap yang sama sekali tidak mencerminkan seorang ibu maupun istri yang bertanggung jawab. Terlebih saat ia tahu bahwa dulu Bunda pernah mencoba menggugurkannya saat masih di dalam kandungan. Perbuatan tak berperikemanusiaan seperti itu membuat kebenciannya terhadap Tengku Valizah semakin bertambah.
Semua kepahitan itu sudah ia telan sendiri. Hingga akhirnya orang tuanya bercerai, dan ia hidup damai bersama Ayah dan Rashihan, ibu tirinya. Mereka hidup bahagia. Rashihan amat mencintainya seperti halnya kepada Shahrom, adik tirinya. Cinta, kasih sayang, dan belaian yang tak ia dapatkan dari Bunda, ia dapatkan sepenuhnya dari Rashihan. Pelukan hangat Rashihan membuatnya merasa istimewa.
Sejak saat itu ia belajar membenci Bunda. Ia makin sadar bahwa, sebagai perempuan, Bunda sama sekali tak berperikemanusiaan. Sayangnya ia tak pernah bertanya mengapa Bunda menolaknya dan ayahnya. Setelah perceraian itu, mereka semakin jarang berjumpa. Sesekali saja ia menjenguk Bunda. Ketika Bunda mencoba memperbaiki keadaan, ia telanjur luka. Atau, jangan-jangan ia telah tumbuh menjadi pendendam?
"Cinta adalah puncak dunia. Dan, Abang tak pernah sampai di sana," kata Basri suatu ketika.
“Setinggi apa puncak itu?”
“Gunung Everest!”
Basri tergelak. Kumisnya terangkat dan jakunnya bergerak-gerak.
“Pengagum berat Barry Manilow dan Hang Jebat, hati yang tertutup oleh cinta dan sekarang mulai terbuka ... kurasa cinta adalah segala-galanya bagiku, Bang.”
“Halah, kata-kata anak sembilan puluhan tuh, ya. Remaja zaman kapitalis, era MTV. Hei, Abang belum bicara apa-apa, lho. Jangan cepat menyimpulkan.”