Lelaki yang Membunuh Kenangan

Bentang Pustaka
Chapter #3

1 (b)

Batin Bunda tersiksa sekian lama oleh dosa-dosa tak terampuni. Dosa-dosa Ayah? Sebesar apa dosa itu? Kejahatan apa yang menimpa Bunda hingga menjadi begitu lemah dan hilang akal?

“Cinta membuat manusia tak waras. Cinta itu menyiksa!” Kalimat Basri kembali terngiang.

Hujan belum juga berhenti. Basariah terlelap diselimuti kebimbangan dan beribu masalah. Lagu Barry Manilow terus membuainya. Moskwa tak seperti yang ia harapkan.

Perang batin.

***

“BUNDAMU sudah sakit-sakitan, Nak. Banyak yang ingin diingatnya, tapi banyak pula yang mau dia lupakan. Sebelum semakin parah, Ayah akan sangat bahagia jika kau datang menjenguk Bunda pada liburan akhir tahun ini.” Ayah mengulang permintaannya saat Bas menunggu pengumuman untuk boarding ketika akan kembali ke London.

Basariah diam. Tak membantah, tetapi juga tak mengiyakan. Mata sayunya menitikkan air mata, satu demi satu membasahi pipi.

Sebuah rahasia. Ada dosa. Namun, mustahil diceritakan.

Beberapa orang Yahudi Rusia sibuk merapikan bagasi. Beberapa anak berwajah Inggris berkejaran di depan Basariah. Seorang perempuan tua bertutur dengan nada tinggi kepada perempuan lain memakai bahasa Inggris yang kurang sempurna, tetapi masih bisa dipahaminya. Obrolan politik. Yeltsin dikatakan sebagai seorang pemimpin sakit yang tidak bisa mengayomi rakyatnya. Yang mudah dieksploitasi untuk kepentingan golongan tertentu. Akibatnya, kemiskinan kian menjadi-jadi. Suara orang-orang berbincang tumpang tindih dengan suara-suara lain, membuat hiruk pikuk bandara Moskwa.

Perang batin Basariah belum reda, malah makin berkecamuk.

Wajah Basri datang beberapa kali. Tanpa kepastian.

“Ah, tidak perlu galau, Basri memang pemalu. Dia mencintaimu meskipun tak pernah memberi tahu hal itu kepadamu. Jangan khawatir,” ujar Craig suatu ketika sambil tertawa lebar.

Suara Ayah datang lagi.

Wajah Bunda juga selalu hadir.

“Berjanjilah kepada Ayah untuk datang pada liburan akhir tahun ini. Bunda ... ehm ... sangat memerlukanmu, Nak.”

Basariah terpana melihat seorang anak kecil dengan balon hijau di tangan berhenti tak jauh di depannya. Anak itu mengulum ibu jari tangan kirinya seraya melambai-lambaikan balon di tangan kanan. Balon berayun-ayun. Tiba-tiba, ia melihat dirinya sendiri pada usia yang sama, memegang balon, lalu tersentak karena ditampar Bunda.

“Anak sial! Maunya senang-senang saja!”

Bentakan itu membuat sang anak kecil meraung.

“Pulanglah ... berjanjilah kepada Ayah.” Basariah terperanjat, menoleh lembut ke arah ayahnya. Bayangan masa lalu hilang seketika. “Apa ... apa Ayah bilang?”

Raja menggeleng pelan. “Pulanglah. Bundamu sakit parah.”

Basariah menoleh ke arah bocah pembawa balon, tapi tak ditemukannya lagi. Matanya kembali mengamati wajah ayahnya. Ia mewarisi hidung mancung lelaki di hadapannya itu. Mata cokelatnya juga. Lengkap dengan gigi gingsulnya.

Basariah adalah putri Raja Hisyamudin dan Tengku Valizah. Dan, kenyataan ini sulit diterima sang Bunda. Mengapa?

“Pulanglah, Nak.”

“Tidak, kecuali Ayah mau berterus terang!” ancam Basariah.

Raja menggeleng kesal. Wajahnya memancarkan duka dan ketidaknyamanan.

“Bas mengancam Ayah? Bas tahu, kan, Ayah tak pernah mau berkompromi dengan musuh-musuh bisnis Ayah. Dengan politikus yang selalu meminta lebih bila mendapat proyek. Bas paham? Bas sayang Ayah, kan? Jangan paksa Ayah menganggap Bas sebagai musuh.”

Basariah tertegun. Perlahan, didekapnya ayahnya. “Kenapa Ayah berpikir begitu?”

“Kalau Bas memang menyayangi Ayah, tolong jangan tanya lagi tentang dosa-dosa masa lalu. Ayah khawatir Bas akan berubah jika mengetahuinya.”

Lihat selengkapnya