Pukul 12.00, seharusnya matahari sedang teriknya atau mungkin hujan mengguyur kota ini, aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu. Yang kutahu udara pengap, bau apek, badan yang terasa kumal dan bau napas dari mulut yang tidak disikat tiga hari, mungkin lebih dan aku lupa.
Aku melirik ponsel di ujung kanan tempat tidur, menatap tanggal dan menghitung hari. Sudah lima hari aku tak keluar dari kamar indekos dan sepertinya hari ini aku harus keluar, persedianku sudah menipis juga tamu bulanan yang datang. Aku tak mungkin menitip pembalut melalui pemesanan daring, rasanya masih janggal. Lagipula sudah waktunya merasakan cahaya matahari, bersikap seperti makhluk hidup seutuhnya.
Aku baru saja meregangkan persendianku yang mulai kaku, saat panggilan ibu masuk. Ada begitu banyak keinginan untuk tidak mengangkatnya, tapi mungkin ini sudah panggilannya yang keseratus dalam seminggu terakhir, aku bisa jadi batu jika masih mengabaikannya.
“Iya Bu.”
Aku menjauhkan telinga saat ibu mulai berteriak, frekuensi suaranya benar-benar melebihi kemampuan manusia menangkap gelombang, aku sampai tidak tahu apa yang sedang dibicarakannya. Apapun itu, aku tahu ibu murka.
“Ibu, telinga Ayu masih baik.”
Aku bisa mendengar suara desahan ibu di seberang sana dan membayangkannya mengelus dada lalu menyebut nama tuhan berkali-kali, seperti setiap kali amarahnya meledak.
“Kamu baik-baik saja Yu?” suaranya melunak.
Aku mengangguk pelan namun tahu ibu tak akan melihatnya. “Baik Bu, Rahayu di kos saja kok, tidak kemana-mana. Lagipula pembatasan sepertinya masih diberlakukan.” Aku tak mengecek informasi terbaru, tapi aku yakin PPKM masih diberlakukan sebagai upaya penanganan penyebaran coronavirus. Virus itu tak mungkin kalah hanya dalam waktu lima hari aku menutup diri dari dunia.
Keadaan dunia sedang tidak membaik, itulah hal tersisa yang memberikanku pemahaman kenapa aku sampai hidup seperti manusia anti sosial, yang hanya makan tidur di ruang tiga kali tiga dan berharap bumi, meski sejenak saja, berhenti berputar. Tahun lalu jika ingatanku masih benar, virus corona masuk ke Indonesia, setelah dunia dihebohkan dengan penyebarannya dari China, tepatnya menyebar dari Kota Wuhan. Beragam spekulasi bermunculan di media, teori konspirasi hingga liputan ilmiah, tapi yang paling mencengangkan adalah kepanikan yang melanda dunia. Penyebarannya begitu cepat, dan menelusup ke Indonesia awal Maret 2020. Hanya butuh satu minggu sejak dideteksi telah tiba di Indonesia, presiden sudah mendapatkan permintaan dari organisasi kesehatan dunia untuk mendeklerasikan keadaan darurat nasional.
Aku ingat hari itu, saat seluruh karyawan di kantor lama membicarakan virus ini dan menduga-duga kebijakan seperti apa yang akan diambil presiden. Tapi percakapan itu kalah menarik dengan ribuan kesombongan yang berseliweran di laman maya, entah mungkin upaya pertahanan diri agar tak begitu cemas, banyak sekali postingan jemawa yang mengklaim Indonesia akan kebal dari virus corona. Lihat sekarang, meski tidak tahu tepatnya berapa, puluhan ribu jiwa sudah meregang dibawa pergi SARS-CoV-2.