Kita selalu punya titik balik dalam hidup, yang tadinya asing terhadap sesuatu tiba-tiba saja menyelaminya lebih jauh. Mungkin itu yang kurasakan sekarang, saat dunia mulai terasa berhenti sedang aku merasa begitu banyak cerita yang tertahan di dada.
Aku tak tahu berapa lama melompat dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya, mulai mencari penghiburan sebab rasanya kepala terasa mau pecah jika aku tak punya pengalihan sedikit saja. Sebelum hari itu aku hanya menggunakan fasilitas internet sebatasnya, menonton jika aku ingin menonton, membaca jika aku ingin membaca, dan mengunggah sekali-dua kali potret terbaru di instagram. Aku tak pernah benar-benar tertarik berinteraksi dengan orang-orang asing di dunia maya. Bahkan nyaris seluruh sosial mediaku hanya berteman dengan teman-teman lama.
Bertahun aku mengenal semarak dunia maya, menampilkan berbagai informasi dari seluruh dunia, memberikan banyak pengetahuan bahkan apa yang tak seharusnya tak diketahui, tetap tidak meberikan daya tarik yang membuatku betah berlama-lama. Aku benar-benar udik dan menggunakannya sesuai kebutuhan yang kupunya. Tidak ada eksplorasi akan sejauh mana dunia maya itu memberikan sesuatu melebihi keinginananku untuk tahu. Lalu pandemi memberikan lebih banyak waktu untuk melihat dunia maya lebih jauh. Aku tetap tak melakukannya secara alami. Aku punya banyak hal-hal yang bisa kulakukan tanpa harus bergantung dengan interaksi sosial. Hingga aku kehilangan Adamas, adik dan satu-satunya lelaki di rumah.
01 – Catatan Pertama
Kau pernah merasa duniamu menggelap, tiba-tiba? Seperti ada lubang yang menghisap dengan kuat, hingga tak ada cahaya yang mampu dilihat. Mungkin begitu cara black hole bekerja jika aku ingin berandai layakanya ilmuwan. Kau merasa tak ada tempat selamat, dan sebentar lagi kau akan membuih hilang dan tak berdaya.
Begitu saat si bungsu pergi, sebagai jiwa yang tumbang dari seleksi alam bernama covid 19, aku merasa tersirap kegelapan dalam makna yang aku lupa apakah saat itu sungguh-sungguh selalu malam, mataku kehilangan penglihatan, atau pikiranku tak mampu menerjemahkan gelombang cahaya. Entah yang mana.
Aku tak bisa menerjemahkan lebih jauh perasaan kala itu.
Berbulan-bulan sudah berlalu, tapi rasanya masih sama sejak pemakaman selesai. Pemakaman yang bahkan tak bisa kusaksikan sendiri. Terkadang aku masih berpikir, jika ia hanya pergi bermain, lalu ketika maghrib tiba aku ingin mengomel karena ia tak kunjung pulang. Saat seperti itulah aku kembali meraung kadang bising dan keseringan hening.
Aku tak tahu kehilangan yang turut hadir di beranda rumahmu, memasuki pintu dan menyapa setiap sudut. Kehilangan dalam hidupku, membawa tak hanya adikku yang ceria, tapi juga segala kebahagiaan dalam seisi rumah.
Jika kau pernah mendengar, saat seseorang pergi yang ditinggalkan hanya tersisa untuk melanjutkan hidup, aku yakin itu benar. Sebab satu-satunya yang tersisa sekarang, aku harus tetap hidup. Meski terkadang, apa sebaiknya aku menyusul saja, terlelap selamanya?