Dinar berjalan terhuyung setengah sadar karena masih mengantuk dari kamarnya menuju ke arah ruang tamu setelah mendengar gedoran keras di pintu. Sempat diliriknya jam besar yang tertempel di dinding ruang tengah, jarum jam menunjukkan waktu sudah lewat tengah malam.
"Mas Santo?" serunya bertanya seraya mendekati pintu.Tak ada sahutan dari luar, tetapi suara gedoran malah bertambah keras. Seolah seseorang di luar pintu telah menggedor dengan menggunakan benda keras lain, bukannya mengetuk dengan menggunakan punggung tangan.
"Itu kamu kan Mas Santo?" seru Dinar mencoba mengalahkan kerasnya suara gedoran. Dalam hati ia jadi heran dengan kelakuan suaminya itu. Saking tergopoh-gopoh, ia bahkan sampai lupa untuk menyalakan lampu ruang tamu sebelum mendekat untuk membukakan pintu.
Tidak biasanya Santo menimbulkan suara ribut seperti itu. Ia juga heran karena baru kali ini Santo pulang ke rumah hingga lewat tengah malam. Apa mungkin suaminya pergi ke tempat lain sepulang kerja tadi?
Biasanya paling malam, jam 9 Santo sudah berada di rumah. Tetapi semenjak mereka menempati rumah baru ini hampir sebulan yang lalu, Santo justru selalu berusaha pulang lebih awal, karena tidak tega membiarkan Dinar sendirian di rumah yang terletak agak terpencil di sudut kampung.
Tetangga terdekat berjarak sekitar lima puluh meter. Rumah baru mereka, walaupun bangunannya lumayan megah, tetapi terletak tepat di ujung jalan kampung. Di samping rumah terdapat kebun jati Belanda yang cukup luas milik Pak Suhar, pemilik rumah yang mereka beli itu.
Mungkin karena letaknya yang kurang strategis dan jauh dari keramaian membuat rumah itu tidak diminati pembeli. Itulah sebabnya rumah itu akhirnya ditawarkan dengan harga yang sangat murah.
Bagi Santo dan Dinar yang baru dua tahun menjalani biduk rumah tangga, mampu membeli sendiri rumah yang terbilang cukup bagus meskipun bukan bangunan baru adalah merupakan satu kebanggaan tersendiri. Apalagi mereka mendapatkan rumah itu dengan harga yang sangat murah sesuai dengan jumlah tabungan yang mereka miliki. Sehingga tak perlu menjual mobil yang mereka miliki sebagai tambahan.
Sehingga meskipun sekarang jarak rumah dengan tempat kerja Santo berjarak cukup jauh, tetapi mereka tidak khawatir, toh mereka masih memiliki mobil sebagai sarana transportasi.
Suara gedoran di pintu kembali terdengar tepi tetap tak ada sahutan saat Dinar memanggil nama suaminya.
BRUAK! BUUUUMM!!
Beberapa langkah sebelum mencapai pintu, tiba-tiba pintu kayu jati berukir berbentuk kupu tarung itu terhempas dengan keras dan terbanting ke dinding samping.
Lalu sekonyong-konyong ada tangan kekar yang menarik keras lengan Dinar dan menyeretnya menjauhi pintu.
"Aaaah!"
"Ayo Dik! Cepat lari!" seru Santo seraya menarik tangan Dinar yang masih mematung karena kaget.
Tapi karena mengenali suara suaminya yang tengah menyeretnya, tanpa bertanya Dinar segera mengikuti langkah Santo, tersuruk-suruk dalam kegelapan rumah mereka. Dinar memang terbiasa mematikan semua lampu di rumah itu, kecuali lampu penerang jalan, lampu teras dan kamar tidur mereka saat malam hari.
"Ada apa ini, Mas? Pintunya?"
"Ssstt, jangan berisik, ayo cepat lari! Ada orang yang ingin membunuh kita di belakang!" bisik Santo tanpa melepas pegangan tangannya dari Dinar.
"A-pa? Si-siapa?" hati Dinar langsung menciut mendengar nada gugup sekaligus takut pada suara suaminya itu.
"Entahlah, dia mengejar ku...dengan membawa kapak!" bisik Santo lagi dengan suara gemetar.
"Kita sembunyi di kamar, Mas... kunci pintu dari dalam sambil menunggu bantuan!" usul Dinar tapi Santo segera menarik istrinya untuk berlari ke arah dapur.
"Tidak! Sudah kubilang dia bawa kapak! Dia akan mudah sekali memojokkan kita di kamar, lalu membantai kita berdua. Percuma saja mengunci pintu kamar, dia bisa saja merobohkannya dengan menggunakan kapak yang dia bawa!"