Selesai sholat dan makan siang, Santo segera bersiap menuju kota untuk berbelanja kebutuhan pekerjaannya, sementara Gusti langsung kembali ke ruang kerja untuk melanjutkan apa yang tadi ia dan Santo kerjakan dari pagi.
"Saya tinggal istirahat siang ya, Mas Gusti. Nanti kalau butuh sesuatu bisa tanya Yuk Yah. Di kulkas ada es teh, kalau Mas Gusti haus!" pamit Dinar saat mengirim secangkir teh dan sepiring kecil pisang goreng ke ruang kerja suaminya.
"Oh, iya Mbak Dinar, Silahkan dan terima kasih untuk teh sama pisang gorengnya!" sahut Gusti seraya melempar senyum ramah.
Lalu kembali serius menekuni lembar-lembar kertas yang terbentang di meja kerja Santo setelah Dinar keluar ruangan dan menutup pintu.
Berjam-jam kemudian, Gusti berhasil menyelesaikan apa yang bisa dikerjakannya untuk saat itu. Adzan Ashar sudah terdengar beberapa saat lalu. Dari arah dapur juga sudah mulai terdengar adanya aktivitas.
Gusti segera merapikan meja kerja Santo, menghabiskan sisa teh di cangkir yang tadi siang dikirim nyonya rumah untuknya, lalu segera keluar dari ruang kerja tersebut menuju dapur untuk menaruh cangkir dan piring kotor.
Di dapur ia hanya melihat Katiyah yang sibuk membersihkan dapur, sementara Dinar baru saja menyelesaikan sholat Ashar sendirian dari mushola keluarga.
"Taruh saja di bak cuci piring, Mas!" ujar Katiyah saat melihat Gusti masuk ke dapur dengan membawa cangkir teh dan piring kotor.
Gusti mengangguk dan langsung berjalan ke arah bak cuci piring yang berada tepat di depan jendela dapur yang mengarah ke belakang. Dari sela-sela jemuran yang belum diangkat terlihat gundukan tanah yang selalu saja berhasil menarik perhatiannya.
Tak ada yang istimewa tapi energi yang terpancar terasa sungguh tak biasa dan begitu suram. Gusti mengenali energi tersebut berhubungan dengan suatu kesedihan, hal yang masih belum usai serta terputusnya kehidupan.
Energi yang hampir seperti yang ia rasakan saat berada di pemakaman.
"Mau minum kopi, Mas?" tanya Katiyah menawarkan di sela kesibukannya menyiangi sayuran dan bumbu dapur.
"Tidak Yuk, Terima kasih! Sudah hampir gelap, saya belum siap-siap untuk sholat Ashar. Sebentar lagi masuk waktu Maghrib." tolak Gusti halus sebelum bergegas ke kamarnya setelah melempar senyum santun ke arah Katiyah.
Seperempat jam kemudian, pemuda itu sudah berada di mushola untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.
Di dapur, Dinar sudah bergabung dengan Katiyah untuk menyiapkan menu makan malam untuk mereka berempat.
"Mas Santo mungkin pulang agak malam, Mbak Dinar. Mungkin habis Isya' nanti!" ujar Gusti saat masuk ke dapur.
"Oh iya, tadi Mas Santo juga bilang begitu." Dinar mematikan kompor dan memindahkan isi panci ke wadah pirex, sebelum menaruhnya di atas meja makan. "Apa banyak sekali yang perlu dia beli?"
"Sebenarnya tidak juga, cuma Mas Santo harus mendatangi dua toko berbeda, Mbak. Kalau masih keburu, mungkin mampir juga ke perpustakaan kota." jawab Gusti seraya merapikan kain sarung dan kopiah hitam yang dipakainya.
"Barangkali mau sholat Maghrib di masjid kampung sekalian jalan-jalan bisa berangkat sekarang, Mas Gusti. Karena letak masjid tepat di tengah-tengah kampung butuh waktu sekitar sepuluh menit jalan kaki dari sini." terang Dinar saat melihat Gusti masih mengenakan baju Koko dan kain sarungnya.
"Boleh juga, Mbak Dinar. Sekalian melemaskan kaki dan menghirup udara segar di luar."
Bukannya berbalik menuju ke arah depan, Gusti justru melangkah menuju pintu dapur yang masih terbuka dan melihat semua jemuran sudah diangkat. Ia berjalan beberapa langkah ke arah gundukan tanah di belakang jemuran aluminium.