Apa yang tersedia di dunia memang tidak pernah cukup untuk manusia-manusia serakah. Lantas, uang adalah kertas paling indah untuk membungkus kekejian. Seperti itulah yang dilihat Sinta dalam waktu lima tahun terakhir. Dia disuguhi perubahan yang sangat mengejutkan. Benar jikalau roda akan terus berputar. Kehidupan manusia akan berlanjut dan berkembang. Tidak ada yang sanggup membangkang atas kemajuan teknologi dan bertambahnya populasi. Semua hal terus berganti hingga terkadang membuat sulit untuk memetakan keping demi keping kenangan masa lalu yang ingin terus diingati.
Sinta menurunkan kaca jendela mobil. Mencoba mencari-cari aroma yang dulu dia kenali. Aroma tanah basah dari sisa hujan semalam. Aroma dedaunan yang baru bersemi di musim penghujan. Sia-sia usahanya. Jejak itu, aroma kenangan itu tidak lagi didapatkan. Jalanan setapak yang dulu berkanopi pucuk-pucuk jati, kini berganti aspal. Begitu panas ketika matahari dengan bangga menyiramkan sinarnya. Kesejukan dari embun-embun yang setia berayun pada daun-daun, tidak lagi ada. Sirna dilalap perubahan.
"Di mana sumur itu, ya?" Sinta menoleh pada Arman, suaminya, yang duduk di bangku kemudi. Laki-laki itu menggeleng setelah sejenak melihat ke arah sang istri menunjuk.
"Sepertinya sudah dihancurkan," sambung Arman.
Sumur tua yang berada pada ceruk pohon kesambi. Itulah yang dicari Sinta ketika mobil yang mereka kendarai melewati gapura kampung. Ada lahan sekitar dua ribu meter yang dipergunakan warga untuk menjemur hasil gilingan padi ketika musim panen tiba. Pun digunakan untuk menanam bibit cabai menjelang musim tanam bertandang. Di tengah-tengah lahan itu, ada kesambi yang berumur ratusan tahun. Pada ceruk yang dikelilingi akar yang besar, terdapat sumur tua. Masih segar dalam ingatan Sinta bagaimana masa itu, warga bergotong-royong membuat sumur tersebut. Menjadikannya sumber air bersih dan pengairan.
Akan tetapi, lima tahun dia tinggal pergi, jangankan sumur, pohon kesambi raksasa itu bahkan tidak tampak lagi. Lahan dua ribu meter tersebut telah rata oleh tanah. Ditancapi berjajar enam umbul-umbul dengan gambar-gambar rumah minimalis modern khas perkotaan.
"Kita sudah pernah mendengar hal ini, bukan? Kamu tidak perlu memasang wajah muram begitu," ucap Arman yang bisa menebak kerisauan hati Sinta.
"Aku tahu. Tapi, rasanya itu terlalu cepat. Kenangan masa kecilku seperti direnggut begitu saja."
Desas-desus akan adanya pembangunan perumahan di kampung itu memang telah menyebar sejak sepuluh tahun silam. Perusahaan properti perumahan besar telah memulai proses pembebasan lahan sedikit demi sedikit dari kota kecamatan. Tidak disangka, kini adalah giliran kampung kecil, tanah lahir Sinta.
"Tidak ada yang tetap berjalan di tempat, Sinta. Bahkan kampungku dulu pun bernasib demikian. Ketika perusahaan properti raksasa datang, semua tanah terbeli dengan dalih pembebasan lahan untuk kemakmuran. Mau kita tidak setuju pun, semua itu tidak berguna. Populasi manusia semakin bertambah. Itu menjadi alasan yang paling tidak bisa disanggah, bukan?"
"Tapi, Mas, kampung ini beda," sanggah Sinta. "Jika di tempat Mas memang rata-rata adalah pegawai, karyawan kantor, tanah diiual pun masih ada penghasilan. Bahkan boleh jadi, menjual tanah pribadi untuk modal usaha. Hidup tentunya akan menjadi lebih mapan. Lihatlah kampung ini! Kampung kecil di lereng gunung yang masyarakatnya hanya bertani. Mau kerja apa mereka setelah tanah sawah dijual?"
Arman menatap sekilas pada Sinta, tersenyum hangat. Dia paham benar betapa gelisah itu tergambar pada wajah istrinya.
"Seperti yang kamu bilang tadi. Seperti yang dilakukan sebagian warga di kampungku dulu. Mereka bisa menggunakan uang hasil penjualan itu untuk modal usaha."
"Usaha apa, Mas?" ucap Sinta sedikit beremosi. "Sudah aku bilang, situasi di sini beda. Tidak banyak dari mereka yang sekolah. Apa yang bisa mereka perbuat tanpa dasar pendidikan yang kuat? Seseorang cenderung hidup dengan mengandalkan kemampuan, bakat, kesukaan, dan kebiasaan. Tentu saja kebiasaan mereka di kampung ini hanyalah bertani, bertani, dan, bertani."