Sinta tahu benar jikalau menciptakan senyum di wajah seorang penduduk desa itu sangatlah mudah. Jika mereka adalah seorang bapak-bapak, cukuplah suguhi dengan kopi beraroma santan. Biji kopi terbaik yang disangrai bersama irisan kelapa tua. Ditumbuk dengan alu dalam lumpang kayu. Biji-biji itu akan diayak, diambil bagian paling halus. Itulah serbuk kopi dengan aroma terbaik yang akan menciptakan senyuman terbaik pada wajah-wajah lelah pencari nafkah.
Lantas, jika mereka adalah sekelompok ibu-ibu, cukuplah dengan menawari pijatan pundak setelah petang menjelang. Bahkan sekadar ucapan terima kasih saja, perempuan-perempuan desa akan memberikan gambaran bagaimana sejatinya senyuman penuh cinta.
Kemudian, jika mereka adalah sekelompok anak-anak, cukuplah dengan membiarkan siang hingga sore sebagai waktu paling nyaman untuk berpetualang. Menceburkan diri di sungai tanpa teriakan segera pulang. Berlarian di padang ilalang sambil menggembalakan piaraan. Langkah-langkah mereka akan terayun ringan, kembali ke rumah kecil yang penuh kasih sayang dengan perasaan senang.
Sinta masih mengingat itu semua. Wajah Bapak, mendiang Ibu, pun teman-teman masa kecilnya dahulu. Setengah hatinya menyetujui apa yang Arman katakan. Bahwa tidak seorang pun mampu mencegah segala bentuk perubahan. Termasuk apa yang terjadi hari ini, saat ini, di depan matanya kini.
Senyum orang-orang desa itu bukan lagi tentang aroma, tentang hilangnya rasa lelah, tentang banyaknya waktu tertawa bersama. Melainkan, tentang harta. Tentang segepok uang yang didapatkan dengan segera. Tentang menjual sebuah kenangan.
"Seharusnya Mas Arman kasih kabar kalau akan kembali pulang. Setidaknya, kami akan menyambut di rumah. Bukan di balai desa seperti ini," ucap Wira.
Mereka berempat sudah duduk nyaman dalam salah satu ruangan di kantor kelurahan tersebut. Dari dinding kacanya, tampak jelas bagaimana beberapa warga desa berkerumun, mengantre pelunasan dari penjualan tanah mereka.
"Tadi juga tidak sengaja kami berhenti di depan kantor kelurahan, Pak Kades. Ini, lho, yang tiba-tiba minta turun. Ingin bernostalgia begitu melihat Bu Kades."
Kelakar Arman sama sekali tidak menarik perhatian Sinta meski Puspa dan Wira menimpalinya dengan renyah tawa. Pemandangan di balai utama lebih ingin Sinta saksikan. Apa yang warga desa dan perwakilan perusahaan properti itu bicarakan, lebih ingin Sinta dengar.
"Repot juga kalau sudah soal nostalgia antara perempuan. Bukan begitu, Mbak Sinta?" Wira mencoba ikut berkelakar.
Sinta menoleh padanya. Menatap penuh penasaran. "Bagaimana ini bisa terjadi, Pak Kades?"
"Maaf? Maksudnya?"