Rumah kayu telah berubah menjadi bangunan bertembok beton. Ilalang dan semak perdu yang tumbuh liar di halaman, dibabat habis, digantikan dengan cor. Lantai tanah yang amat lembab ketika musim penghujan datang, dilengserkan oleh keramik-keramik bermotif cantik. Tidak ada lagi tampak tetangga yang saling berkunjung. Sekadar duduk bergurau usai lelah berkutat dengan pekerjaan. Rumah-rumah sederhana itu telah berpagar tinggi. Kampung yang dulu riuh oleh saling sapa antar tetangga, mendadak berubah hening. Saling sibuk duduk manis di dalam rumah, menjaga lembaran-lembaran uang yang masih tersisa.
"Yuli! Jangan lupa kunci setiap pintu!" Adalah suara teriakan Asenah, perempuan paruh baya tetangga Sinta.
"Kandang ayam juga, Mak?" Putri ketiganya yang masih duduk di bangku kelas sebelas itu balas berseru dari ambang pintu.
"Lho, ya, harus!" seru Asenah yang sudah duduk di atas motor. "Maling sekarang itu pintar-pintar. Pagar depan digembok, mereka membobol pintu belakang."
Sinta yang menyaksikan ibu dan anak yang sedang ribut mempermasalahkan kunci rumah itu, menarik napas dalam-dalam. Aneh rasanya mendapati perubahan sikap sedemikian. Lima tahun lalu, Sinta masih bisa mendengar seruan Asenah yang mendatanginya, meminta tolong menitip kunci rumah ketika dia pergi ke sawah. Takut kalau-kalau Yuli pulang dari sekolah sedangkan Asenah masih sibuk berladang hingga menjelang petang.
Asenah, seorang ibu tunggal yang begitu hebat membesarkan dua orang putri. Berkutat dengan tanah sawah, menanam sayur-mayur untuk dijual ke pasar. Rumah dibiarkan apa adanya. Tanpa lantai keramik, tanpa plafon. Segala hasil panen dikumpulkan demi menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. Jangankan sibuk memikirkan membenahi rumah yang bocor atapnya ketika hujan. Sekadar membeli daster pun kadang ratusan kali dipikirkan, ditimbang-timbang.
Kini, tetangga sederhana itu seperti hilang ditelan bumi. Topeng sederhana telah copot dari wajahnya. Daster kumal dengan tambal sulam, berganti busana nan indah. Tidak pula ketinggalan kalung emas panjang menjuntai di dada berhias bandul besar. Gelang emas melingkari kedua pergelangan tangan. Sepeda jengki tua yang berbunyi 'cring, cring, cring' ketika dikayuh, kini digantikan motor matik keluaran terbaru. Semak belukar yang menjadi pagar, tergeser oleh pagar besi hitam dengan gembok besar.
"Sinta!" Asenah yang baru menyadari jikalau tetangganya itu baru saja kembali setelah lima tahun pergi, melambaikan tangan, berseru menyapa, "Kapan pulang, hei?"
Sinta yang duduk di teras, segera bangkit, menghampiri Asenah yang sudah merentangkan tangan, turun dari motor, dan bersiap memberinya pelukan.
"Apa kabar, Mak Nah? Sampeyan terlihat cantik betul hari ini. Lima tahun tidak bertemu, saya dibuat pangling dengan semua ini."
Asenah tertawa lebar. "Kamu kaget, ya? Beginilah warga kampung kita sekarang. Semua pada jadi orang kaya baru, Sinta."
"Orang kaya baru?" Sinta pura-pura bingung. Meski sebenarnya dia amat mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
"Iya, semua menjadi kaya. Tentu dengan menjual sawah."
"Mak Nah menjual sawah?" Perempuan itu mengangguk demi menimpali pertanyaan Sinta. "Lalu, sekarang kerja apa kalau bukan bertani?"
Kembali Asenah tertawa. "Ya, Mak Nah ini juga sudah tua. Mumpung ada yang mau beli sawah itu dengan harga mahal, ya, dijual. Yuli dan mbaknya sudah Mak bagi uang jualnya. Sisanya, untuk tabungan Mak berselonjoran menghabiskan sisa usia."