Langit telah mengunyit. Cahaya jingga dari arah barat menerobos gumpalan awan putih di atas langit. Belum genap pukul lima. Rumah Bapak masih rapat tertutup. Motor tua dengan knalpotnya yang berisik itu tidak Sinta jumpai di halaman depan. Dia tahu benar apa artinya. Dia tahu benar ke mana harus pergi untuk bisa gegas berjumpa Bapak. Sawah.
Satu kilometer. Jarak yang cukup jauh untuk sebuah jalan setapak kecil yang hanya bisa dilewati motor. Sinta berjalan kaki, sengaja menolak ketika Arman menawarkan diri mengantar. Dia meminta agar suaminya tetap di rumah. Membereskan pakaian yang masih ada dalam koper. Sinta pergi seorang diri. Tidak masalah.
Akan tetapi, di tengah perjalanan, hal itu ternyata menjadi masalah. Sejenak, Sinta telah lupa jikalau kampung lahirnya telah banyak berubah. Lima tahun lalu, jalanan setapak berbatu yang kini dia lewati tidak pernah sunyi. Sekalipun malam hari, di musim siap panen padi, justru semakin ramai. Para petani datang usai maghrib demi menjaga panen dari serangan tikus. Bunyi 'kelontang, kelontang' dari kaleng-kaleng bekas biskuit Lebaran yang digantung pada sepanjang pematang, menjadi musik paling riuh. Mengalahkan konser grup musik terkenal.
Hari ini, sore ini, begitu sunyi, sangat sunyi. Bahkan bersimpangan dengan satu petani pun, tidak. Sinta seperti berjalan di tempat asing, tanpa penghuni. Seorang diri, menoleh kanan dan kiri. Tidak ada seorang pun yang didapati.
Genap satu kilometer tertempuh, Sinta mematung. Mengedarkan pandangan. Mencoba memeta-metakan ingatannya dari masa lalu. Tempat yang sungguh berbeda. Tidak ada lagi hamparan hijau dengan aroma rumput basah. Tidak terdengar lagi gemerisik dari gesekan ilalang yang tersapu angin. Hanya hamparan tandus yang sangat luas. Sangat tandus, sangat panas.
"Bapak! Bapak!" Sinta mulai berseru-seru.
Dia teramat yakin jika telah berada di tempat yang benar. Sawah peninggalan mendiang ibunya, seharusnya sudah genap dijejak setelah satu kilometer berjalan. Pikiran buruk perihal Rosni yang membangun rumah itu kembali menyembul.
"Bapak! Ini Sinta, Pak! Bapak!"
Sinta melanjutkan langkah. Hingga di depannya tampak pagar kawat berduri, gerakan kaki Sinta terhenti. Kawat itu dipasang mengelilingi sepetak lahan empat ribu meter. Satu-satunya lahan penuh warna hijau. Padi di dalamnya telah tinggi. Satu-dua telah mengeluarkan biji.
"Bapak!" Sinta kembali berseru, mendekati pagar kawat duri itu. "Bapak di sana? Ini Sinta, Pak! Bapak!"
"Hoi!" Terdengar sahutan dari dalam pagar kawat. "Bapak akan keluar. Tunggu di situ, Sinta! Kapan kamu pulang? Kenapa tidak mengabari lebih dulu? Tunggu, tunggu! Bapak akan segera ke sana, ya!"
Lega. Begitulah arti embusan napas Sinta setelah mendengar suara bapaknya. Bunyi 'krasak, krasak' terdengar kian keras. Sinta berjalan ke sisi kanan. Yakin jika suara tubuh Bapak yang bergesekan dengan padi memang berasal dari sana. Sesekali, Sinta melompat-lompat. Mencari-cari keberadaan Bapak melalui celah-celah pagar kawat.
"Aduh, duh! Aduh!"
Seruan rintihan itu membuat Sinta menoleh. Dua meter dari tempatnya berdiri, arah bawah.
"Astaghfirullah, Bapak!"