Sinta membayangkan jikalau beton-beton itu akan menimpa tanah lahirnya. Tanah penuh kenangan dari nenek moyangnya. Baru dia sadari ternyata di dunia ini, amatlah susah mendapati manusia yang berteguh hati. Menjaga tetap utuh sebuah kampung kecil. Tidak membiarkan tangan-tangan taipan serakah merenggutnya dengan dalih menyejahterakan populasi manusia. Entah bagaimana kelak Sinta akan bisa berbangga menyebut nama desanya yang asri lagi makmur di depan para sahabat di ibu kota. Entah bagaimana pula Sinta akan mendongengkan masa kecilnya yang berakhir nahas pada anak dan cucu nantinya.
Sinta duduk diam, membiarkan semangkuk nasi goreng buatan Arman hilang kepulnya begitu saja. Mulutnya rapat terkunci. Arman memilih tidak banyak tanya setelah mendengar apa yang istrinya itu sampaikan sejak pulang dari menemui Bapak di ladang. Pintu rumah yang biasanya selalu tertutup setiap azan magrib berkumandang, kali ini dibiarkan terbuka hingga isya terlewat satu jam. Sinta ingin mencari-cari sepoi angin, memastikan jikalau sengat dinginnya pada kulit masihlah sama. Sinta ingin memastikan riuhnya jalan di depan rumah. Bapak-bapak yang melangkah ke warung dengan sarung menggantung di leher demi secangkir kopi beraroma santan.
Akan tetapi, apa yang Sinta ingin dapati itu tidak terjadi. Kampungnya hampa. Kampungnya sunyi.
"Untuk apa kamu terus menyiksa diri dengan terus mencoba mendemo segala perubahan ini?" Arman mencoba menarik sang istri dari tenggelamnya dalam kegelisahan seorang diri. "Secara sistematis, apa yang mereka lakukan dengan membuat pagar kawat pembatas tidaklah salah. Benar apa yang dikatakan Bapak, bahwa nasib sawah kita saja yang tidak terlalu bagus. Berada di tengah-tengah."
"Itu strategi mengusir yang sangat keji, Mas. Mas harusnya lebih tahu itu!" Suara Sinta meninggi.
"Kamu benar," kata Arman, masih dengan penuh kesabaran. "Sama seperti ketika Mas dan tim hendak membuka cabang tower. Jika dari sekian banyak penduduk ada satu yang tidak setuju, tetap akan ditinggal."
"Tapi, mereka mendapatkan ganti rugi, Mas. Ini beda cerita!" Sinta masih tidak mau mengalah. "Mereka merenggut tanah-tanah itu dengan paksa. Membuat tidak berdaya agar tidak lagi punya pilihan selain menjual."
"Lantas, apa yang bisa kita lakukan jika pemilik sah mau melepas?"
Sinta terdiam. Tatapannya pada Arman yang berapi-api perlahan redup. Dia sepakat dengan apa yang suaminya katakan. Tidak ada hak untuk ikut campur.
Suasana yang sedikit memanas antara suami-istri itu, dicairkan oleh suara ketukan pintu. Arman bergegas berdiri, menghampiri seorang laki-laki yang amat dia kenali. Itu adalah Hasan, mantan kepala desa. Sinta mengekor di belakang. Tentulah ada satu hal yang penting hingga Hasan harus datang ke rumah mereka.
"Bapak tadi dari rumah Bang Jaka, Sinta. Bapakmu itu bilang kalau kamu sudah ada di rumah. Syukurlah, waktunya tepat," ucap Hasan.
"Apa ada, Pak?" tanya Sinta.
"Ini, Bapak perlu tanda tangan." Hasan menyodorkan selembar kertas. "Ah! Jika tidak keberatan, boleh kita bicara sambil duduk? Ada hal-hal yang juga perlu Bapak jelaskan."
Arman segera mempersilakan, diikuti Sinta yang bergegas ke dapur, membuat secangkir kopi. Hasan memberikan selembar kertas itu kepada Arman untuk dibaca. Lantas, kertas itu berpindah ke tangan Sinta.
"Pakde Raji mau menjual sawahnya?" tanya Sinta. Itu adalah sawah yang terletak persis di sebelah sawah peninggalan mendiang ibu Sinta.