Lembah Para Mafia

Yulistya Yoo
Chapter #6

Ahli Waris

"Apa maksudnya Mas mengatakan itu? Sudah aku bilang, sawah peninggalan Ibu itu tidak akan pernah dijual!"

Arman kembali duduk, mengabaikan Sinta yang berapi-api, terus mengejar jawaban. Perkataan Jupri berhasil mengganggunya. PT. Pelita Properti itu cukup cerdik untuk mendesak pemilik tanah. Pagar dari kawat berduri sengaja dibuat dengan alasan sebagai pembatas. Namun, sebenarnya hal itu dilakukan untuk memaksa terjadinya proses jual-beli. Pada akhirnya, si pemilik tanah tidak akan punya pilihan selain melepas, tentu saja dengan harga anjlok.

"Kita memang boleh memilih untuk tidak tunduk pada perubahan, Sinta. Tapi, memilih untuk menolak perubahan, juga adalah perbuatan sia-sia. Kita yang akan rugi."

"Jika Mas mengatakan ini karena ucapan si Jupri itu, aku tidak peduli. Tanah itu, selain waris dari mendiang Ibu, juga tempat Bapak mengais rezeki. Mau jadi apa? Mau kerja apa Bapak kalau sawah itu dijual, Mas? Tidak akan! Tidak akan pernah!"

"Lalu, bagaimana jika perumahan itu sudah berdiri? Bukan lagi kawat berduri yang menjadi pagar untuk menghalangi Bapak masuk ke sawah, melainkan tembok beton setinggi dua meter? Bagaimana bisa Bapak bertani dengan situasi seperti itu?"

Sinta menggigit bibir. Dia ingin terus menyanggah apa yang Arman katakan, tetapi tidak kuasa. Senyatanya, apa yang sang suami pikirkan itu juga terus melintas di benaknya. Melihat Bapak yang harus merangkak melalui cerukan dengan baju yang tersangkut duri saja sudah membuatnya ngilu, apalagi jika harus menaiki tembok setinggi dua meter. Tentu Sinta khawatir. Akan tetapi, ada yang jauh lebih dia khawatirkan. Itu adalah perihal pekerjaan dan sumber pangan sang bapak. Bagaimana pula orang tua itu tanpa hasil sawah yang selama ini menjadi sumber penghidupan.

Air mata Sinta sudah penuh, bergelantungan di pelupuknya.

"Tidak, Mas. Aku tidak bisa melepas tanah itu. Tidak bisa," ucapnya lirih. "Seberapa pun banyaknya uang yang didapat, tidak akan ada gunanya. Akan habis sia-sia. Lain halnya jika sawah itu tetap ada. Tetap digarap Bapak. Setidaknya, ada hasil panen yang bisa dinikmati, dimakan sendiri."

"Itulah sebabnya kenapa sawah itu harus dijual, Sinta." Arman memperbaiki posisi duduknya, menghadap Sinta yang hampir-hampir jatuh air matanya. "Kamu ingat apa yang dikatakan Wira kemarin? Tidak semua bagian desa akan mengalami pembebasan lahan. Ada sisi utara yang akan dijadikan penghijauan. Ingat?"

Sinta mengangguk. Meski dia tidak terlalu paham ke mana arah ucapan Arman, tetap dia simak dengan sesekali sesenggukan.

"Menjual sawah itu adalah satu-satunya cara agar Bapak tetap bisa bertani, Sinta. Uang itu akan dibelikan sawah lagi di sisi utara desa. Meski boleh jadi, yang kita dapat tidak akan seluas sawah sebelumnya, tapi uang itu tidak akan berakhir sia-sia. Peninggalan Ibu tetap masih akan ada dan dimanfaatkan untuk makan. Kamu mengerti maksudku?"

Runtuh sudah air mata Sinta. Pada akhirnya, dia kalah dalam mempertahankan miliknya. Para taipan bukanlah musuh yang bisa dilawan dengan idealisme. Mereka selalu punya cara untuk mendesak masyarakat kecil dengan cara-cara keji, lantas mempermanisnya dengan uang.

"Ada kalanya, kita perlu mengalah. Karena terkadang, orang-orang yang berkuasa selalu punya cara untuk memaksa orang lain menyerah."

Dalam pelukan suaminya, Sinta mulai terisak-isak, pasrah.

***

Sore itu juga, Sinta dan Arman datang ke rumah Bapak. Romlah, ibu sambungnya, menyambut dengan ragam pertanyaan basa-basi. Sinta yang sejak awal tidak begitu menyukai tabiat Romlah yang suka bergosip dengan tetangga, terlihat malas menimpali. 

Lihat selengkapnya