Sinta sibuk membolak-balik beberapa berkas dari dalam map. Lembaran-lembaran itu berbau kamper dan jamur. Ujung-ujung kertasnya mulai kecokelatan. Usai bertemu Bapak dua hari lalu, Sinta dan Arman menemui Hasan. Menanyakan beberapa hal tentang jual-beli tanah. Pun, mereka ingin agar Hasan membantu untuk bisa bertemu pihak PT. Pelita Properti. Siang inilah waktunya. Mereka akan diantar untuk melepas satu-satunya sawah tersisa.
"Nak! Nak Sinta! Nak!"
Arman yang sedang berganti pakaian, menoleh pada sang istri. Sinta menggeleng, tahu betul suara siapa itu. Dia menolak untuk membukakan pintu. Arman bergegas keluar.
"Ada perlu apa, Bu Romlah?"
"Nak Arman, apa Nak Sinta ada?" Romlah berjinjit-jinjit untuk melihat ke dalam. Tubuh tinggi Arman sengaja menghalanginya. "Ibu mau bicara sebentar."
"Sinta sedang mandi. Sampaikan saja dulu pada saya."
Selintas, wajah Romlah terlipat. Namun, dia lekas memilih menampilkan senyuman.
"Begini, Nak. Apakah rencana menjual sawah itu sudah pasti?"
Arman mengernyit, lantas mengangguk enggan. "Seperti yang Bu Romlah dengar sewaktu kami bicara dengan Bapak kemarin."
"Oh, ya, sudah. Kalau begitu, biar Ibu suruh Jupri segera datang, ya."
"Pak Jupri? Untuk apa?"
"Lho, ya, untuk bantu kalian menjual sawah itu."
"Tidak perlu!" sahut Sinta yang tiba-tiba sudah berjalan di belakang Arman. "Kami pakai makelar lain. Makelar yang mau membawa kami langsung ke kantor."
"Eh, tapi, si Jupri bisa ...."
"Tidak perlu, Bu Romlah!" ucap Sinta tegas. "Lagi pula, ini sawah warisan saya, dari ibu saya. Orang di luar keluarga kami, tidak boleh ikut campur."
Arman menatap Sinta seolah-olah mengatakan jika ucapannya itu berlebihan. Sinta melengos, kembali masuk ke dalam. Dengan wajah kecewa, juga kesal, Romlah balik kanan, permisi pulang.
"Kamu tidak harus mengatakan itu, Sinta. Tetap saja Bu Romlah itu istri Bapak. Jaga sedikit sikapmu."
"Tidak bisa, Mas. Tidak tahu mengapa bawaannya aku selalu ingin marah kalau melihatnya. Aku merasa dia hanya ingin mengeruk uang Bapak saja."