"Kalau makan, ambil porsi yang sekiranya bisa dihabiskan. Jangan sampai buang-buang nasi. Kamu tahu sendiri bagaimana sulitnya, mahalnya, dan lelahnya petani dari proses tanam padi sampai menjadi nasi pulen seperti di piringmu itu? Dan yang perlu diingat, jika bisa, jangan sampai anak keturunanmu makan dari beras yang dibeli. Suatu saat nanti, harga beras mungkin akan setara dengan harga emas. Karena itu, pertahankan sawah ini. Jangan sampai dilepas hanya karena keserakahan semata. Kamu harus mengingat nasihat Ibu ini, Sinta."
Kalimat panjang dari Ibu bertahun-tahun lalu itu, kembali menggelembung. Mengisi ceruk-ceruk ingatan Sinta. Sebuah nasihat yang dahulu terdengar biasa saja, bahkan cenderung dianggap, 'Ah! Tidak penting!' Kini justru menjadi yang paling ingin didengarkan lagi.
Waktu sudah banyak berlalu. Keadaan telah drastis berubah. Seperti halnya rumah kayu yang lambat laun akan semakin lapuk. Tiba waktunya digantikan dengan campuran pasir, semen, dan kerikil. Jika tidak dibangun ulang, rumah itu akan roboh dan melukai pemiliknya. Menentang hanya akan babak belur seorang diri. Sama halnya apa yang Sinta pikirkan sekarang bahwa selalu ada pilihan setiap kali harus berhadapan dengan perubahan.
Ada sisi di mana hati Sinta masih merasakan cubitan, sakit. Dia pikir, alangkah senangnya jika sang ibu masih bisa menikmati hasil penjualan sawah yang telah turun-temurun diwariskan dari Buyut. Sinta merasa begitu tidak tahu diri. Menjual tanah waris padahal telah dipesan untuk dijaga hati-hati.
"Seharusnya, kan, aku yang kepikiran. Kenapa jadi Mas yang banyak melamun usai kita pulang dari kantor para taipan itu?"
Arman tertawa. "Terima kasih," ucapnya sembari menerima secangkir kopi dari Sinta.
"Apa yang Mas risaukan? Pekerjaan? Atau sawahku yang pada akhirnya harus terjual?" Sinta ikut tertawa. Merasa sedikit aneh menanyakan hal semacam itu pada suaminya. Meski masih belum sepenuhnya rela, tetapi ide untuk membeli sawah lagi dengan uang penjualan tersebut membuatnya merasa lebih tenang.
"Hanya merasa sedikit janggal dengan proses jual-beli tadi pagi," kata Arman.
Sinta yang duduk di depan Arman, seketika bangkit. Dia berpindah ke samping suaminya. Baginya, selalu menyenangkan mendengar sang suami ketika menganalisis sesuatu. Itu adalah salah satu kebiasaan Arman yang amat disukainya.
"Aku ingin mendengarnya. Apa itu?"
"Mungkin hanya aku saja yang berpikir terlalu jauh," kata Arman kemudian.
"Tidak, tidak!" Sinta mengejar. "Ada apa? Apa yang merisaukan?"
Percikan keresahan pada mata Arman itu tidak sanggup mengelabui istrinya. Naluri seorang perempuan memang hebat, batinnya. Arman memilih menyerah. Boleh jadi akan sedikit melegakan jika apa yang mengusik hati itu ditumpahkan pada Sinta.
"Hanya soal uang tanda jadi. Tidak masalah juga sebenarnya."
"Kenapa dengan itu, Mas? Jangan setengah-tengah bicaranya."
"Tidak biasanya dalam proses jual-beli tanah, apalagi langsung dengan perusahaan pengelola, penjual diberikan uang tanda jadi. Setahuku, harusnya ada uang muka tiga puluh persen." Arman terlihat berpikir. "Seperti halnya ketika tim di kantor melakukan penyewaan atau membeli lahan untuk meletakkan pemancar. Semuanya uang muka, Sinta, bukan uang tanda jadi."