Sinar matahari telah mengecup gorden jendela kamar. Sambil bersandar pada kosen, Sinta tersenyum menatap Arman yang sedang menyisir rambut di depan cermin. Sehari kemarin wajah laki-laki tercintanya itu terus terlipat tersebab kerisauan yang entah. Pagi ini, senyumnya telah kembali. Begitu hangat hingga hangatnya sisa-sisa cahaya fajar pun tersaingi.
"Sampai jumpa besok pagi."
"Hati-hati."
Syak prasangka terhadap Hasan itu mereka pilih tidak ambil pusing. Dari cerita Asenah yang menggebu-gebu perihal Hasan dan Rusdi, mereka menganggapnya sebagai perseteruan antara saudara. Tidak lebih.
Kasus bermula dua tahun lalu, ketika Rusdi hendak menjual sawah yang menurutnya telah diwariskan mendiang sang bapak untuk dirinya secara lisan. Namun, Hasan merasa hal itu tidak pernah terjadi. Sawah tersebut adalah tanah waris yang harus dibagi berdua. Tentu saja Rusdi tidak bisa menjual jika Hasan menolak membubuhkan tanda tangan karena akta tanah itu masihlah memakai nama mendiang bapak mereka. Alhasil, penjualan tanah tersebut dibagi dua sebagai syarat agar Hasan bersedia tanda tangan.
Rusdi yang memang terkenal dengan tabiat buruknya, cerita ke sana-sini, mengumbar masalah keluarga itu setiap kali duduk di warung. Mencak-mencak marah, mengatai Hasan dengan ragam kata-kata buruk. Bahkan Asenah yang bercerita pada Arman dan Sinta pun, terlihat sekali dia menggunakan sudut pandang Rusdi.
"Setidaknya, Pak Hasan lebih realistis daripada si Jupri," kata Sinta pada Arman kemarin. "Kita diantar langsung untuk bertemu penanggung jawab PT. Pelita Properti. Pak Hasan juga tidak meminta apa pun ke kita karena katanya dia bekerja untuk perusahaan, bukan sebagai makelar. Jadi, Mas jangan memikirkan macam-macam lagi."
Sebab itulah, pagi ini Arman terlihat jauh lebih baik. Dia berangkat kerja dengan meninggalkan pelukan hangat untuk istrinya. Menyanggupi untuk kembali jumpa pada esok sore yang indah.
Pagi yang masih amat janggal bagi Sinta. Dia belum terbiasa dengan suasana baru meski telah berlalu pagi riuh lima tahun lalu. Jalan depan rumahnya tidak lagi ramai oleh bunyi 'kring!' dari sepeda ontel para petani yang berangkat meladang. Tidak ada lagi berisik suara sapi dan kambing yang hendak digembalakan. Semua berisik itu ditelan oleh waktu. Ditelan oleh uang. Ditelan oleh perubahan.
"Mbok Kasti, sedang apa di sini?"
Di toko sembako langganannya, Sinta mendapati pemandangan yang begitu memilukan.
Kasti dan Parman. Sepasang sepuh tujuh puluhan tahun itu sedang ada di sana. Kasti yang tengah menimbang gula. Parman yang tengah menata galon air mineral. Sinta mengenal betul dua orang tersebut. Mereka adalah tetangga sawah yang dulu sering bertukar lauk untuk sarapan di gubuk dengan keluarganya ketika musim tanam tiba.
"Mbok sedang apa?" Sinta lantas beralih melihat ke arah Parman. "Pakde Parman juga kenapa angkat-angkat galon air begitu, Mbok? Itu, kan, berat."
"Mbok Kasti! Timbangkan gula sepuluh kilo lagi, ya! Ditunggu yang pesan, Mbok. Cepat, ya!" Dari dalam toko, si pemilik berseru.
Kasti mengiakan. Lantas, tangannya bergerak patah-patah mengambil plastik, menyendoki gula, untuk kemudian menimbangnya. Sinta yang melihat hal itu segera duduk di depannya. Membantu memegangi plastik selama diisi gula agar tidak tumpah.