Bunyi gong serupa alarm pemanggil. Penduduk berbondong-bondong meninggalkan rumah menuju balai desa tempat acara karawitan diberlangsungkan. Suara sinden yang melantunkan tembang Dhandhanggula, menyatu merdu dengan rangkaian melodi dari gamelan. Perempuan dan anak-anak duduk menyaksikan. Sementara, para laki-laki sudah mengantre, menunggu giliran mengalungkan sampur di leher mereka.
Tepat di depan panggung, pada deretan kursi dengan meja-meja penuh hidangan, duduk Wira beserta perangkat desa lainnya. Pun beberapa tamu undangan dari kantor kecamatan, juga perangkat desa sebelah. Mereka lebar tertawa. Menyaksikan para bapak-bapak kampung yang menari mengelilingi sinden dengan menghambur-hamburkan uang, menyawer.
Di halaman balai desa, berjejer para pedagang makanan. Dari mulai rebusan kacang tanah hingga gorengan. Yang menarik, semua pedagang itu adalah penduduk kampung. Orang-orang yang dulu bertani, yang kini telah kehilangan sawah sendiri.
"Mbak Sinta, mau beli tidak?"
Wiwin. Salah satu gadis muda, tetangga Sinta. Di punggungnya ada adik perempuannya berusia dua tahun, pulas tertidur. Wiwin menjajakan tahu goreng yang diberi sambal petis. Dia sunggih menggunakan tampah.
"Iya, sini, turunkan!"
Gadis lima belas tahun itu bersemangat menurunkan dagangannya. Mengambil kantong plastik untuk kemudian diisi pesanan Sinta.
"Adikmu kenapa dibawa, Win? Kasihan sedang tidur begitu."
"Tidak ada yang jaga di rumah, Mbak."
"Ibumu?"
"Ibu goreng tahu. Itu di sana." Wiwin menunjuk stan tempat ibunya berjualan. Ada juga Rumi, adik keduanya yang membantu.
"Bapakmu?"
Wajah Wiwin terangkat. Dia gerakkan dagunya untuk menunjuk panggung. Sinta melihat sosok yang dimaksud Wiwin, yaitu Sukadi. Laki-laki itu tengah asyik berjoget dengan mengibas-ngibaskan beberapa lebar sepuluh ribuan. Sesekali tangannya lancang menyelipkan lembaran uang tersebut ke dalam belahan dada si sinden.
Sinta tersenyum getir. Andai tidak ada bayi yang lelap tertidur, sudah dia teriakkan umpatan untuk Sukadi. Sungguh sosok bapak yang tidak tahu diri. Anak dan istrinya sibuk mencari uang makan, dia pongah menghamburkan dengan jejogetan.