Fakta sering kali datang dengan tercerai-berai. Satu per satu bergantian memberi kejutan. Hal-hal yang pada awalnya berjalan lancar, ternyata disambut banyak kerikil tajam. Seperti yang mendadak menimpa Sinta pagi ini. Satu jam lalu, dia menerima telepon dari Hasan. Sebuah kabar mengejutkan yang pada akhirnya tidak dia sampaikan pada Arman yang sedang dalam perjalanan pulang setelah dua hari menginap di tempat proyek barunya. Sinta memilih menyimpannya sendiri sampai segalanya terang. Sampai terlihat jelas siapa dalang dari apa yang terjadi.
Bersama Hasan, Sinta datang ke kantor PT. Pelita Properti. Dandy menunggu sebuah klarifikasi yang harus diberikan Sinta perihal tanah yang hendak diproses jual-belinya. Ketiganya berwajah tegang sambil mengamati lembaran-lembaran kertas di atas meja.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi, Pak?" Sinta melontarkan pertanyaan yang ditanggapi dua laki-laki tersebut dengan wajah muram.
"Silakan dilihat, Bu!" Dandy menyodorkan dua lembar kertas pada Sinta.
Lembar pertama adalah surat pelunasan pajak setahun silam, asli. Tertulis terang data-data tanah milik Sinta di sana. Lembar berikutnya adalah akta tanah. Data yang tertulis memanglah menunjukkan jikalau lokasi tersebut adalah bidang sawah milik Sinta yang hendak dijual. Namun, yang tertulis di sana bukanlah nama Sinta melainkan mendiang ibunya.
Dari sambungan telepon sebelum mereka bertiga akhirnya bertemu, Hasan berulang kali menanyakan pada Sinta apakah dirinya merasa pernah melakukan proses jual-beli tanah tersebut sebelumnya. Sangat aneh, pikir Sinta atas pertanyaan Hasan tadi. Bahkan satu Minggu lalu dia masih belum terpikir untuk menjual sawah.
Bagaimana mungkin ada transaksi jual-beli? Sinta membaca dengan saksama surat pelunasan pajak dan akta tanah yang diberikan Dandy.
Tidak ada yang salah dari surat pelunasan pajak tersebut. Sinta selalu melihat benda semacam ini setiap kali bapaknya usai membayar pajak sawah dan rumah.
"Astaga!" seru Sinta kemudian. Dia baru menyadari memang ada yang janggal. "Dari mana Anda mendapatkan surat pelunasan pajak ini?"
Hasan menarik selembar kertas dari dalam tasnya. Sebuah surat pernyataan yang dua hari lalu dia minta Sinta untuk membubuhkan tanda tangan.
"Lihat, Pak!" kata Hasan, menoleh pada Dandy. "Saya mengenal keluarga Nak Sinta ini sedari dulu. Bapak juga tahu benar jika saya tidak sembarangan membantu proses jual-beli tanah seseorang. Saya yakin betul jika di sini ada kekeliruan. Surat pernyataan ini adalah bukti jika tidak pernah ada proses jual-beli dengan siapa pun sebelumnya."
Dandy mengangguk. "Saya percaya dengan Pak Hasan. Tapi, kami tetap harus mematuhi prosedur yang ada. Kami terpaksa akan menghentikan sementara transaksi jual-beli sampai masalah ini terselesaikan."
"Sebenarnya, apa yang sedang terjadi ini?" sela Sinta. Rasa penasaran sudah membuatnya hilang sabar untuk mendengarkan Hasan dan Dandy yang saling lempar pernyataan.