Sinta menengadah. Kedua kakinya genap menapak pada pelataran parkir. Suara Dandy yang memberinya ucapan basa-basi agar berhati-hati di jalan, menguar begitu saja. Seperti debu-debu halus di atas paving yang tertiup angin. Mata Sinta menyipit, menatap langit tengah hari. Rasa nyeri yang bertandang seenaknya dalan kepala membuat fungsi matanya menjadi aneh. Matahari yang biasanya menjatuhkan panas dengan begitu sengit, kali ini nyaris menyembunyikan diri di balik arakan awan. Siang yang pucat.
"Kita sudah punya surat pernyataan jika tanah sawah itu belum pernah dijual atau dikuasakan jual pada siapa pun. Jadi, Nak Sinta tidak perlu terlalu kepikiran soal ini," ucap Hasan yang menyadari kegelisahan di wajah Sinta.
"Saya hanya tidak habis pikir, Pak. Bagaimana bisa orang lain menjual tanah seseorang dengan begitu mudah? Belum lagi pihak kelurahan. Bagaimana bisa mereka mengeluarkan sporadik, surat-surat sepenting itu tanpa mengonfirmasi terlebih dulu pada pemilik tanah?"
"Seperti yang Bapak katakan tadi. Kadang seorang makelar tidak hanya menempatkan diri sebagai penjembatan antara pembeli dan penjual. Tapi, ada di antara mereka yang berubah serakah. Mencari untung tanpa peduli jika penjual boleh jadi sedang terjepit masalah keuangan. Lebih jahat lagi, ketika makelar-makelar seperti itu sudah tertutup hatinya. Mereka tidak segan akan menjadi mafia tanah."
Mengerikan, pikir Sinta.
Dunia ini memang telah penuh dengan manusia-manusia bedebah. Manusia-manusia yang rela membuang hatinya ke dalam tong sampah demi terlihat kaya. Sinta tidak pernah membayangkan jika hal gila semacam ini akan menimpa dirinya. Para mafia tanah yang sering dia lihat ada dalam kisah fiksi, kini nyata ada di sekelilingnya. Menyulut kerumitan dalam hidupnya.
"Apa artinya, proses jual-beli ini terhenti?"
Hasan mengangguk. "Untuk sementara, iya."
"Tapi, Pak, apa pun yang terjadi, akta asli tanah sawah itu ada pada saya. Bukankah seharusnya tidak bisa terjual tanpa surat aslinya?"
Hasan kembali mengangguk. "Itu benar. Tapi, masalahnya tidak semudah itu."
"Lantas? Apa perusahaan lebih percaya pada surat jual-beli palsu itu daripada surat asli dari pemilik sah?"
"Surat pernyataan dari kelurahan itulah muasalnya," ucap Hasan dengan wajah serius. "Sporadik yang dikeluarkan desa satu tahun lalu itu sudah berganti nama Jupri sejak jual-beli dilakukan. Itu adalah bukti kuat. Sah secara hukum."
"Tapi, kita juga punya sporadik atas nama saya. Bukankah itu salah satu berkas yang Pak Hasan lampirkan dalam proses UTJ kemarin?"
"Itulah masalahnya. Kelurahan sudah mengeluarkan sporadik ganda. Kita sebaiknya mencari tahu terlebih dulu apa sebab kelurahan bersedia mengeluarkan sporadik kedua untuk kita kemarin. Tapi sebelum itu, Nak Sinta rasa-rasanya pun perlu berbicara pada keluarga. Barangkali ada di antara mereka yang tahu perihal tindakan Jupri ini."
Itulah yang sedari tadi telah terbenak oleh Sinta. Dia bergegas pulang untuk menjumpai seseorang. Dia ingin menagih sebuah penjelasan perihal surat perjanjian jual-beli tahun lalu yang ditunjukkan Dandy.
***
Bapak baru turun dari musala sebelah rumah ketika Sinta mematikan mesin motor. Laki-laki itu mengenal baik tabiat putrinya. Wajah yang terlipat, langkah yang cepat adalah sinyal untuk menyematkan betapa ada hal penting harus segera disampaikan.
"Tumben benar kamu datang bawa motor. Apakah siang ini terlalu terik?" sapa Bapak basa-basi. "Masuklah. Bapak punya es kelapa muda. Tadi ada yang jatuh satu." Bapak tertawa sambil menunjuk pohon kelapa di halaman.
Sinta bergeming. Tidak sedikit pun sudut bibirnya terangkat guna menimpali candaan Bapak. Dia bergegas duduk di ruang tamu, mengabaikan Romlah yang sedang menganyam rotan menjadi nampan di teras.
"Masih dingin. Minumlah!" Bapak memberikan gelas plastik berisi es kelapa muda yang tadi dia janjikan.
"Bapak tidak pernah telat membayarkan uang pajak yang Sinta berikan selama lima tahun terakhir, bukan?"
Bapak terperangah. Pertanyaan itu seperti sebuah tuduhan yang mempertanyakan kejujurannya.