Lembah bukanlah nama sebenarnya dari desa tempat Sinta dilahirkan. Lokasinya yang dekat pegunungan. Banyak aliran sungai serta pohon-pohon jati yang tinggi menjulang. Itulah mengapa banyak orang menyebut desa itu dengan nama kampung Lembah. Tempat yang damai dengan angin sepoi. Penuh suara-suara cengkeramah dari para penduduk yang rukun hidup bersama. Namun, satu tahun lalu, desa asri itu rata oleh tanah. Bermunculan rumah-rumah modern dengan beton-beton sebagai atapnya. Satu tahun lalu, rupa-rupa persekutuan para bedebah mulai merusak tatanan kedamaian yang ada.
"Sudah aku katakan padamu, Jup. Sawah itu bukanlah milikku. Nuriyah dulu telah mengubahnya atas nama Sinta. Jadi, perkara dijual atau tidak, itu bukan urusanku."
"Maka dari itu, Bang. Cobalah Abang telepon si Sinta. Bujuklah dia untuk menjual sawah itu. Mumpung harga sedang naik. Cukup dia kirim berkas lewat foto, sisanya di sini aku yang bereskan. Dua ratus juta. Sudah ganteng itu harganya, Bang."
Jupri mondar-mandir mengikuti gerakan Bapak yang berpindah-pindah. Cabai yang ranum masihlah lebih menggoda daripada Jupri yang besar mulut. Terus membujuknya untuk menghubungi Sinta guna segera menjual sawah.
"Lagi pula, buat apa juga Bang Jaka nunggu persetujuan Sinta. Sekalipun nama yang tertera pada akta tanah adalah namanya, tapi, kan, Abang bapaknya. Masa kalau dijual, Abang tidak dapat bagian?"
"Aduh! Kamu belum mengerti juga kalau abangmu ini berstatus fakir miskin dalam data kelurahan?" Romlah yang sedang memasukkan cabai ke dalam karung, ikut bersuara. "Sawah yang digarap ini, juga rumah yang ditinggali abangmu itu, semua atas nama Sinta. Tidak ada aset yang atas nama abangmu sama sekali. Semua harus dengan persetujuan putrinya."
Jupri menatap Bapak dengan alis yang terangkat tinggi-tinggi. "Itu benar, Bang? Sampai rumah juga?"
Bapak mengangguk, tersenyum. "Semua milikku dan Nuriyah adalah haknya Sinta."
Tidak lagi menggubris ocehan iparnya tersebut, Bapak melenggang santai melanjutkan memetik cabai. Meninggalkan Jupri yang menatap heran bersama Romlah yang berwajah kesal. Sungguhlah dia mulai menyesal telah menggebu mendekati Bapak dahulu. Pikirnya, tentu akan hidup enak jika bisa menikahi duda yang anaknya sudah berumah tangga sendiri. Bapak tinggal di rumah yang bagus, punya sawah cukup luas. Belum lagi Jupri yang sering mengatakan jikalau harga sawah di sekitar Lembah akan mahal. Nahas, Romlah baru tahu jika semua aset sudah dibaliknamakan kepada Sinta.
Tidak menyerah sampai di situ. Jupri kembali menemui Bapak esok harinya. Kali ini, dia datang tidak hanya dengan bualan setinggi langit, melainkan segepok uang. Kertas-kertas ajaib yang dikeluarkan negara itu ada di dalam kantong plastik berwarna hitam. Diletakkan Jupri di atas meja, di hadapan Bapak.
"Seratus juta, Bang. Kontan!" Jupri menyeringai. Siapa yang bisa menolak jika sudah melihat uang?
Akan tetapi, menggoyahkan pertahanan Bapak tidak semudah itu. Uang sebanyak itu hanya dilirik Bapak sekilas saja. Sisanya, hanya gelengan yang didapatkan Jupri.