"Jupri, kita dalam masalah." Adalah kalimat terakhir sebelum Romlah memutus panggilan telepon. Setelah itu, dia bergegas menuju rumah Jupri.
Nahas bagi Romlah. Setibanya di rumah Jupri, dia tidak bisa segera menyampaikan maksud kedatangan. Adiknya itu terlihat sibuk. Dia duduk di balik meja yang ditempatkan tepat di tengah ruang tamu. Kursi bersandaran empuk dari bahan poliester polos berwarna hitam. Dengan memakai kacamata baca berbingkai kuning emas, serta sesekali menulis sesuatu pada buku besar di hadapannya, Jupri sudah bak direktur perusahaan besar ibu kota.
Di depannya, duduk berderet pada sofa, dua orang laki-laki setengah baya. Mereka memasang wajah tidak sabaran sambil melihati setiap pergerakan Jupri. Khas seorang anak sekolah dasar yang berdebar-debar menunggu dipanggil gurunya maju untuk ujian hafalan.
Pemandangan sedemikian sudah sering disaksikan oleh Romlah semenjak adiknya itu melabeli diri sebagai makelar tanah. Pada saat seperti ini pula, Jupri tidak bisa diganggu. Romlah harus sabar menunggu, ikut mengantre untuk bisa bicara dengan adiknya itu.
"Bang Nursan!"
Laki-laki yang duduk paling kanan bergegas bangkit. Wajahnya cerah menghadap Jupri.
"Hari ini jadwal pelunasan, ya, Bang?"
"Iya, iya. Betul sekali. Hari ini aku waktunya pelunasan." Nursan menjawab dengan penuh semangat.
Semakin cerahlah wajahnya ketika melihat Jupri mengeluarkan kantong plastik hitam, lantas memperlihatkan isinya. Beberapa gepokan uang ada di sana. Lembaran berwarna merah yang wangi, khas aroma uang baru. Jupri mengambil satu gepok, menjilat ujung jari telunjuk kanannya. Kemudian, dia tempelkan pada satu demi satu lembaran uang. Mulai menghitung.
"Tiga puluh juta," kata Jupri sambil mendorong kantong plastik tersebut kepada Nursan.
Nursan mengernyit. "Tiga puluh, Jup?" Jupri mengangguk. "Cuma tiga puluh?"
Jupri menegakkan punggung. Menatap ketus pada Nursan. "Hoi, hoi! Abang pikir aku mencuri uangnya?"
Tangan Jupri bergerak cepat membuka halaman demi halaman buku besar yang berisi banyak catatannya. Begitu ditemukan nama yang dicari di sana, segera dia tunjukkan pada Nursan.
"Lihatlah! Itu nama Abang, bukan? N-U-R-S-A-N. Nursan!" Jupri menunjuk-nunjuk bukunya. "Masih ingat berapa sawahnya dijual?"
"Seratus lima puluh juta," jawab Nursan.
"Masih ingat kapan dan berapa Abang terima uang muka?"