Mata Sinta membeling. Perasaan sesak karena ingin menangis itu tidak juga hilang meski telah lewat dua jam sejak dia meninggalkan rumah Bapak. Aroma khas dari kain yang tertimpa besi panas tidak juga menarik perhatiannya. Tatapan Sinta kosong, lurus ke arah pintu keluar. Dua meter dari tempatnya duduk, di sebelah kanan, di samping jendela, ada Aini yang tengah sibuk menyetrika. Perempuan sebayanya itu dipanggil oleh Sinta dengan serampangan. Dimintanya tolong untuk menyetrika pakaian yang belum sempat dirapikan sejak kembali pulang. Namun, itu hanya alasan saja. Sinta selalu menolak sendirian ketika hatinya sedang tidak karuan.
"Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu, Sin." Pada akhirnya, Aini merasa canggung juga sedari tadi berada dalam suasana lengang. "Meski tidak akan banyak membantu, bolehlah kalau kamu sekadar mau bicara ngalor-ngidul."
Mendengar suara cekikikan Aini, Sinta akhirnya menoleh, ikut tersenyum meski sekilas saja. Dia perhatikan teman kecilnya itu tampak lebih tua dari usianya. Di kampung mereka ini, usia enam belas tahun bagi seorang anak perempuan sudah dilabeli perawan tua. Yang memilih menempuh pendidikan lebih tinggi harus siap dengan segala gunjingan. Sinta pernah menjadi satu dari sekian gadis desa yang menjadi bahan gibah. Bahkan hingga kini, hingga usianya lebih dari tiga puluh tahun pun, pernikahannya masih hampa. Belum ada seorang anak yang dipercayakan untuk dia jaga. Berbeda dengan Aini yang putri sulungnya tahun ini hendak masuk SMA.
"Ni, sawahmu juga terjual, bukan? Bapak dan emakmu sekarang kerja apa kalau tidak ada sawah?" Tiba-tiba rasa penasaran menyusupi benak Sinta.
"Emak buka warung nasi dan kopi sejak tidak punya lagi sawah. Tapi, ya, begitu. Sepi. Kamu, kan, tahu sendiri kalau orang kampung ini semua hidup hemat. Daripada beli makan di warung, lebih dipilih masak sendiri. Yang masih terjual paling hanya kopi. Itu pun sepertinya justru rugi."
Aini mengurai jawabannya sambil renyah tertawa. Seperti tidak ada beban sedikit pun di wajah perempuan tiga anak itu.
"Lalu, kamu sendiri? Kalau tidak bantu di sawah emakmu, apa yang kamu kerjakan?"
"Ya, seperti yang kamu lihat," ucap Aini sambil menunjuk setrika di tangannya. "Aku mengetuk pintu orang-orang kaya di perumahan baru itu, Sin. Menawarkan tenaga. Entah setrika, nyuci, atau bersih-bersih kamar mandi."
"Suamimu?"
Sinta semakin penasaran. Sepanjang yang dia tahu, suami Aini dulu adalah pemilik gilingan padi dan jagung. Jasanya banyak dipakai para petani. Namun, kini sawah, ladang tidak ada lagi. Gilingan itu tampak teronggok di samping rumah Aini.
"Suamiku jadi kuli sekarang. Ikut proyek pembangunan di perumahan baru itu."
"Syukurlah. Setidaknya, masih ada mata pencaharian selain bertani."
Aini menggeleng. "Bayarannya sedikit, Sinta. Kerjanya di bawah pengawasan mandor yang garang sangat. Tidak cukup untuk kehidupan kami. Ditambah lagi, kedua mertuaku hidup bersamaku juga. Semua serba susah."
"Tapi, kamu hebat, Ni. Kamu sudah berpikiran maju. Kamu mau berusaha untuk menyekolahkan anakmu sampai SMA. Itu bagus untuk masa depannya."
"Ya, tentu. Jangan sampai nasibnya buruk seperti ibunya ini. Tapi, sistem pendidikan zaman sekarang juga aneh, Sinta. Kampung ini yang jauh dari mana-mana, tidak termasuk dalam zonasi sekolah mana pun. Demi bisa masuk sekolah negeri, aku harus utang pada Emak sepuluh juta."