Lembah Para Mafia

Yulistya Yoo
Chapter #16

Keserakahan Manusia

Pagi di mana matahari yang mulai memanjat langit tidaklah tampak, tertutup oleh gelantungan mendung. Gerimis tidak mau ketinggalan untuk menciptakan nyanyian aneh di atas kanopi rumah. Semalam, waktu yang seharusnya habis untuk beristirahat setelah dua hari berkutat dengan pekerjaan, nyatanya menjadi malam yang semakin melelahkan. Sinta menceritakan semuanya. Mengajak Arman berdiskusi perihal sawah yang telah dicuri.

"Jadi, surat pelunasan pajak itu masih ada di Bapak?" tanya Arman semalam.

Sinta menggeleng. Dia tidak yakin. Karena bagaimanapun juga, surat yang ditunjukkan Dandy di kantor adalah asli. Namun, Bapak juga sempat bersikeras mengambil surat itu ke dalam kamar. Sinta gamang.

"Kamu tidak percaya pada Bapak?" Arman mengusap kepala Sinta.

"Bapak bukan pembohong. Bapak tidak akan berbuat seperti itu kepadaku, Mas."

"Maka dari itu, apa lagi yang kamu risaukan?"

"Aku ingin menceritakan soal Jupri pada Bapak. Tapi, aku khawatir untuk banyak hal, yang aku juga tidak mengerti apa saja ini."

"Kalau kamu percaya Bapak tidak berbohong, maka itu benar." Arman menepuk-nepuk lembut tangan istrinya. "Besok, kita akan temui akar masalahnya. Jupri."

Itulah sebab kini Arman duduk di teras. Menikmati sisa hujan semalam yang masih meninggalkan sedikit hawa dingin. Lima tahun silam, di musim seperti ini, jalanan depan rumah mereka amat ramai. Riuh oleh para petani yang bergegas meladang. Tidak peduli guyuran hujan. Mereka justru riang. Turunnya hujan artinya kesejahteraan pangan. Kali ini, sunyi. Beberapa rumah bahkan masih terkunci.

"Berangkat sekarang?" 

Sinta muncul di ambang pintu. Arman tersenyum mendapati wajah tertekuk sang istri. Aneh, pikirnya. Biasanya, ketika beberapa hari tidak jumpa, istrinya itu tidak akan jauh-jauh darinya, bermanja-manja meminta bantu ini-itu. Namun, kali ini wajah manis tersebut penuh emosi. Lupa akan cara merapal rindu. Muram seperti tentara perang yang sibuk mencari strategi.

"Sudah berhenti hujannya. Bawa motor, ya?"

"Apa saja," sahut Sinta. "Yang penting segera sampai di rumah Jupri. Aku sudah tidak sabar untuk mendengar alasannya yang penuh omong kosong itu."

Lihat selengkapnya