Dari balik asap rokok yang mengepul, menggulung-gulung di udara, wajah Jupri diselimuti amarah. Laki-laki itu menoleh ke arah jalan. Dalam kerumunan 'penonton' yang menyaksikan nahasnya, matanya membulat menangkap sosok yang seketika membuat jantungnya hampir melompat. Seorang perempuan yang menatapnya nyalang. Persis seperti tatapan Siswo. Jupri bergidik, tetapi tetap saja berusaha menampilkan seringaian. Dia tidak mau menyambut tamu berikutnya dengan kondisi kalah.
Jupri membanting rokok yang tersisa separuh ke lantai. Menginjaknya penuh emosi. Tangan kirinya terjulur, bergerak memberi isyarat pada sang tamu untuk mendekat. Sinta yang hendak melangkah, ditahan oleh Arman. Pada akhirnya, dia pasrah mengekor di belakang sang suami dengan tangan terkepal erat. Andai ada kesempatan, tinju itu sudah dia hantamkan keras-keras ke pelipis Jupri.
Sekali lagi ucapan Arman berkelebat, membuat hatinya sedikit melunak. Betul, mereka berbeda dari Jupri. Mereka berpendidikan dan mampu menyelesaikan masalah dengan diplomasi. Tidak dungu, tidak mengacau yang akan berakhir dengan mempermalukan diri.
Pak RT kembali bangkit setelah membubuhkan tanda tangannya di kolom saksi pada selembar kertas yang dia pegang. Disodorkannya kertas itu pada Jupri. Dengan kasar, Jupri meraihnya, membubuhkan tanda tangan pada kolom yang tertulis namanya. Hal yang sama pun dilakukan oleh Siswo.
"Semua yang berada di sini, melihat kejadian ini adalah saksi!" Pak RT berseru-seru, melambai-lambaikan kertas tersebut di udara. "Telah sah perjanjian antara Siswo dan Jupri. Jika uang yang diminta Siswo atas pohon-pohon jati yang ditebang dan dijual Jupri itu tidak dibayarkan dalam waktu sepekan, tindakan hukum tentu akan diambil. Atau, pihak Siswo akan mengambil mobil Jupri sebagai gantinya."
Semua yang hadir, serempak mengangguk. Beberapa tersenyum senang melihat kemalangan yang menimpa Jupri. Beberapa lagi sibuk mengunggah video-video yang diambil, pada laman media sosial masing-masing.
"Karena semua sudah diselesaikan baik-baik dan kekeluargaan, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, silakan membubarkan diri. Silakan bubar, Pak, Bu!" Pak RT mengangkat tangan tinggi-tinggi. Dia gerakkan seperti menggiring ternak untuk bergegas masuk ke dalam kandang.
Siswo kembali menyelipkan celuritnya pada kolong ikat pinggang. Dia acungkan tinju sebelum akhirnya balik kanan meninggalkan Jupri yang menggeram kesal. Santoso mengiringi langkah kakaknya setelah berterima kasih pada Pak RT dan dua pemuda tanggung yang sedari tadi membantunya.
Satu per satu membubarkan diri. Meninggalkan halaman rumah Jupri. Tersisa di sana Sinta dan Arman yang menunggu reaksi Jupri atas kedatangan mereka.
"Kalian tidak membawa celurit juga, bukan?" Jupri tertawa. Dia kembali menyulut rokok, mengisapnya kuat-kuat, lantas ditiupkannya gulungan asap ke udara. "Masuklah, kita bicara di dalam! Akan banyak yang bergunjing jika melihat kalian tiba-tiba menginjakkan kaki di rumahku ini. Bukan begitu?"
Jupri mengulurkan tangan, sedikit membungkuk. Terniat sekali dia berkelakar dengan memperlakukan Arman dan Sinta bak raja dan ratu agung. Keduanya melangkah ke ruang tamu, disusul Jupri dengan kepulan asap rokoknya.
"Kalian mau minum apa?" tanya Jupri berbasa-basi. "Ah, tapi, maaf! Hanya ada air putih gelasan. Kalian tahu sendiri, aku ini seorang duda. Tidak biasa menyiapkan kopi atau semacamnya di rumah. Ayolah! Minumlah meski seteguk saja!"
Berbeda dengan Sinta yang melengos, enggan menatap beberapa air mineral dalam gelas di atas meja, Arman melakukan apa yang Jupri katakan. Demi adab bertamu, pikirnya.