Dua jam menjelang tengah hari. Hawa dingin masih setia memeluk kampung kecil berjulukan Lembah tersebut. Matahari benar-benar didesak untuk terus bersembunyi oleh arak-arakan awan kelabu.
Sinta. Perempuan itu tidak sedikit pun merasakan dingin menggigit kulit. Gerah justru menyergapnya. Satu suluh seakan-akan menyala dalam rongga dada. Meliukkan api dan membakar jantungnya.
"Sawah itu sudah menjadi milikku. Panjar seratus juta yang aku berikan pada bapakmu adalah bukti tidak terbantahkan!"
Arman menggeleng tegas ketika Sinta ingin menyerang perkataan Jupri dengan ragam sanggahan. Percuma saja, pikirnya. Gelagat angkuh Jupri sudah cukup untuk menunjukkan seberapa besar nyalinya. Telah masuk berkas ke kantor artinya Jupri telah mempersiapkan segalanya. Berkas-berkas dengan kekuatan hukum yang tentu akan menyulitkan Sinta.
Di sinilah mereka sekarang. Berdiam di rumah untuk menenangkan diri. Mencoba mencerna baik-baik apa gerangan yang tengah terjadi.
"Jupri itu sudah melakukan penipuan, Mas. Dia itu maling. Bisa melakukan apa saja!" seru Sinta. "Dia harus dilaporkan. Aku tidak terima!"
"Tenanglah dulu, Sinta. Tidak segampang itu untuk menyanggah Jupri. Dia bahkan punya surat-surat valid yang menyatakan kalau tanah itu sudah dia beli. Juga ... foto Bapak dan uang itu."
Pundak Sinta naik turun. Napasnya sesak menahan gulungan amarah.
Foto Bapak. Kerongkongannya terasa kesat. Sakit yang luar biasa dia rasakan ketika melihat foto pada ponsel Jupri. Bapak jelas-jelas hendak melangkah ke kamar untuk mengambil surat pelunasan pajak ketika dirinya menanyakan keberadaan benda itu. Sinta yakin jika Bapak tidak sedang berpura-pura hanya untuk menutupi kebohongan. Sosok terbaik, bertanggung jawab. Bapak bahkan tidak akan makan apa pun sebelum anak dan istrinya kenyang.
Bapak tidak mungkin berbohong. Luruh sudah air mata Sinta. Dia membenci apa yang kini terselip pada sudut hati. Itu adalah tentang setitik ragu yang sungguh ingin dia ingkari.
"Kita harus bertemu Bapak."
Ucapan Arman seperti rantai besi yang dalam sekejap melilit kakinya. Pada rantai itu tergelantung bola besi besar. Apa yang diucapkan Arman serupa tangan besar yang melempar bola besi itu kuat-kuat dari bibir ngarai. Tubuh Sinta terjun ke dasar.
"Itulah caranya agar kita tahu benar tidaknya apa yang dikatakan Jupri."
Sinta masih bergeming. Dia tidak suka situasi ini.
"Baiklah. Tidak perlu sekarang," ucap Arman begitu menyadari kegelisahan di wajah istrinya.
Arman memutuskan meninggalkan Sinta di ruang tamu. Dia pergi ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi. Napasnya terembus berat menatap kopi instan yang sebenarnya tidak terlalu dia suka. Namun, untuk meracik kopi hitam dengan campuran gula terlalu sulit. Rasa dan aromanya pasti tidak akan senikmat buatan Sinta. Apa daya, sang istri sedang tidak dalam kondisi baik untuk mengerjakan permintaannya.