Kebetulan. Sebuah kata yang dibenarkan oleh manusia-manusia yang tidak percaya pada takdir. Meski pada kenyataannya, ada takdir yang kadang sulit untuk dinalar akal manusia. Terlihat aneh, ajaib, nyaris seperti sebuah candaan. Seperti kali ini, ketika amarah telah bergulung-gulung mencoba mendobrak dada Sinta, sebab amarah itu justru muncul tepat di depan matanya.
"Si Jupri sialan!" umpatnya pelan.
Mesin motor berhenti di teras. Jupri yang melihat Sinta berdiri menatapnya dari ruang tamu, melambaikan tangan, menyeringai. Sengaja betul dia melipatgandakan kekesalan yang terang-terangan ditunjukkan Sinta.
Di belakang Jupri, turun dari boncengan adalah Romlah. Di tangan perempuan itu ada rantang bersusun empat. Melihat anak sambungnya memergokinya seperti itu, Romlah mulai celingukan. Sinta pernah melabraknya tanpa sungkan tersebab rantang-rantang yang kini ada di tangannya.
Sebelum dinikahi Bapak, Romlah adalah seorang janda dua anak. Putri sulungnya bernama Rosni. Usianya satu tahun di bawah Sinta. Menikah muda ketika tidak lanjut lagi ke jenjang sekolah menengah atas. Suami Rosni adalah pemuda kampung sebelah. Gambaran seorang anak bandel yang selalu hadir pada setiap pegelaran orkes dangdut, menyawer. Laki-laki luntang-lantung yang hanya numpang hidup pada istrinya. Sesekali bekerja jika ada yang butuh tenaganya ketika musim panen tiba. Uang yang dia dapat pun hanya akan berakhir di meja judi pasar dini hari.
Romlah berperan menjadi ibu yang bak malaikat. Setiap pagi dan petang, dia datang ke rumah Rosni. Mengirimi makanan siap santap.
"Bapak tidak punya kewajiban untuk mengurus dan memberi makan anak orang!" Begitulah Sinta meradang suatu hari begitu mengetahui katering yang dilakukan Romlah untuk Rosni.
Dengan air mata berderai-derai, Romlah menggelayuti kaki Sinta, memohon ampun atas tindakannya. Dari mulutnya yang lincah bersilat, Romlah beralasan karena kasihan. Selain mengurus dua anak yang menginjak remaja, Rosni juga menanggung hidup adik laki-lakinya yang belum juga menikah di usia hampir dua puluh lima. Sinta memang tidak pernah mengizinkan Romlah membawa anak bungsunya itu untuk ikut tinggal di rumah Bapak. Pemuda yang sama rusaknya dengan suami Rosni hanya sumber beban keluarga.
"Tak apa. Hanya sedikit makanan saja, Nak. Anggaplah itu sebagai sedekah jariyah Bapak kelak." Begitulah cara Bapak meredam amarah Sinta.
Ketika pada akhirnya Sinta menelan begitu saja pembelaan yang diberikan Bapak, Romlah justru kian menggila. Usai perihal kirim-mengirim makanan, berubah menjadi hilangnya berkarung-karung beras.
Dari empat ribu meter sawah peninggalan sang ibu yang digarap Bapak, terkumpul sekitar enam puluh karung padi. Dahulu, Sinta ingat betul jika mereka bertiga hanya hidup dari itu. Padi-padi tersebut tidaklah habis untuk makan setahun. Bahkan sesekali dijual untuk kebutuhan rumah dan sekolah. Meski begitu, saat tiba musim tanam kembali, selalu ada sisa. Setidaknya, ada sepuluh karung padi untuk dimakan sambil menunggu masa panen datang.
Akan tetapi, setelah menikah dengan Romlah, tidak perlu sampai musim panen berikutnya untuk menunggu padi-padi dalam karung itu habis tanpa sisa. Hanya dalam waktu tiga bulan, Sinta dibuat terheran-heran. Ke manakah bertumpuk-tumpuk hasil keringat bapaknya itu menghilang.
Takdir mengantarkan Sinta pada jawabannya dengan cara yang begitu jenaka. Suatu hari ketika dirinya tengah membeli beras di sebuah toko sembako di pasar kampung sebelah, pemiliknya memberikan beras putih nan gemuk-gemuk.
"Beras dari padi yang ditanam bapakmu memang kualitasnya sangat bagus, bukan?"
"Maksudnya, Paklik?"
Sinta akhirnya mendesak pemilik toko tersebut untuk bercerita bagaimana muasal beras bapaknya ada di toko tersebut.