"Jangan bersikap seperti orang yang tidak beragama, Sinta!"
Seruan Arman bak sebuah tangan besi yang mengepal kuat. Menghantam tampias hujan untuk kemudian melesak ke dalam jantung Sinta. Sang istri dibuat terdiam seketika. Tubuhnya luruh jatuh ke sofa, napasnya masih tersengal tersebab marah yang masih sulit diredam.
Di luar sana, di setiap rumah, para tetangga mulai berbisik seperti dengung lebah. Dalam sekejap, mereka amnesia jika beberapa jam lalu lebih asyik menggulung diri dalam selimut di tengah gerimis yang menolak bersudah. Keributan dari rumah Bapak membuat mata mereka terbelalak, sempurna lenyap kantuknya. Suara melengking Sinta yang menyemprot Romlah dengan amarah, menjadi tontonan menarik di tengah matahari yang setia dengan redupnya.
Berpasang-pasang mata tidak lepas menatap Sinta yang melangkah cepat meninggalkan teras Bapak. Mereka bergunjing seakan-akan menjadi manusia paling tahu situasi yang tengah terjadi.
"Semakin pintar, seorang anak memang semakin banyak tingkah. Lihatlah! Harusnya perempuan memang tidak perlu tinggi-tinggi sekolah." Selentingan itu mulai terdengar lagi. Sinta mengabaikannya. Jantungnya sudah cukup sesak untuk menampung omongan konyol orang-orang desa.
"Kalau aku jadi Sinta, sudah pasti tidak akan akur dengan Romlah. Perempuan itu hanya membuat Bang Jaka hidup susah. Padahal dulu saat Nuriyah masih ada, mereka hidup bahagia, kaya sebagai petani desa." Yang lain ikut menimpali.
Terlepas dari pembelaan dan kecaman atas sikap Sinta, para tetangga itu tidak ada yang berniat benar-benar menengahi masalah. Ada waktu-waktu di mana mereka hanya senang melihat kegaduhan yang jarang terjadi di perkampungan. Hidup tenang dan nyaman terasa menoton terkadang. Perseteruan antar anggota keluarga adalah momen langka yang akan menjadi bahan bincang di warung-warung sayur dengan tambahan bumbu-bumbu sok tahu mereka.
"Aku yakin Jupri dan Romlah bekerja sama, Mas." Sinta tidak lagi sudi memanggil dua keluarga sambungnya itu dengan gelar penghormatan. "Mereka itu licik. Dan Bapak terlalu ... ah, entahlah! Aku benci sekali melihat Bapak yang tidak bisa tegas pada perempuan serakah itu."
"Tapi, bukan berarti kamu boleh berkata sekasar itu. Memaki Pak Jupri dan Bu Romlah di depan Bapak hanya akan menyakiti hati Bapak."
"Lalu? Sudah terang di depan mata kalau mereka itu sekongkol nyolong tanah kita. Dan aku harus berpura-pura buta dengan semua bukti yang ada?"
"Cara untuk membalas mereka tidak hanya dengan memuntahkan murka, Sinta," potong Arman lekas. Dia tidak suka melihat nyala kemarahan dalam mata istrinya. "Itu hanya akan membuatmu menjadi topik gunjingan pada tetangga."
"Siapa peduli!" Sinta melengos. "Jika bisa, aku bahkan ingin mencekik mereka berdua. Termasuk si Rosni yang pasti sudah menggunakan uang itu untuk membangun rumah. Sialan sekali mereka!"