Tumpeng nasi kuning adalah perlambang gunung emas, begitulah ucapan syukur Sumi, ibu Abdul ketika putra sulungnya itu lolos seleksi sekretaris desa.
Abdul memotong bagian atas tumpeng, menaruhnya di atas lepek beling. Sumi mengangguk ketika sang putra menatapnya. Sebuah tatapan permintaan persetujuan untuk memberikan potongan pertama pada seseorang yang bagi Abdul sangat berjasa dalam hidupnya.
"Saya tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Paklik Jaka dan keluarga."
Mata Abdul membeling. Bapak tersenyum hangat menerima lepek dengan potongan pucuk tumpeng tersebut. Ditepuk-tepuknya pundak Abdul yang mulai sedikit berguncang-guncang karena menahan senggukan.
Hidup bersama seorang ibu yang telah menjanda, juga tiga adik perempuan yang semuanya masih sekolah, membuat Abdul harus melapangkan hati. Dia memupus mimpi untuk berangkat ke kota kabupaten guna meneruskan sekolah menengah atas. Memupus mimpi tingginya menjadi seorang insinyur pertanian. Abdul harus puas menjadi buruh tani serabutan. Ibunya yang mulai beruban telah menipis tenaganya. Abdul dengan ikhlas menerima tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga.
Keluarga Sinta adalah salah satu petani yang begitu percaya pada kemampuan Abdul dalam membantu pertanian mereka. Begitu dekatnya, Bapak bisa melihat betapa anak muda ini bisa menjadi sesuatu andai diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Jadilah, Bapak suatu hari memaksa agar Abdul mengikuti ujian paket untuk lulus SMA. Lantas, hal itu mengantarkannya pada kursi saat ini. Seorang carik yang cerdas. Mempermudah warga dalam proses pengurusan surat-surat di dalam desa.
Sampai ketika sebuah perusahaan raksasa masuk dengan rancangan program pembebasan lahan. Perangkat desa yang biasanya hanya menikmati gaji ala kadarnya, mendadak bermandikan uang. Tidak terkecuali Abdul yang mendapat banyak persenan berkat piawainya dia mengurus dengan cepat berkas-berkas jual-beli tanah milik warga.
Adik-adiknya bukan lagi remaja desa yang akan menjadi seorang ibu di usia muda. Bukan sekadar buruh tani atau buruh cuci seperti apa yang selama ini dilakukan ibunya. Abdul menyekolahkan mereka ke kota kecamatan. Mencari sekolah menengah pertama terbaik. Harga yang sedikit lebih mahal, kini tidak menjadi soal. Program pembebasan lahan telah membuat kantongnya lumayan tebal.
Joglo reyot dari jalinan bambu sudah disulapnya menjadi rumah mungil berdinding beton. Tidak ada lagi air hujan yang jatuh dari sela-sela genteng pecah. Tidak ada lagi lubang-lubang pada dinding yang membawa gigil jika cuaca sedang berangin. Abdul bisa melihat wajah ibunya yang tengah sibuk di warung. Tidak lagi memikirkan besok bisa makan atau belum. Balai desa yang hanya berjarak lima puluh meter pun, dia tempuh dengan motor. Kendaraan model terbaru yang membuatnya gagah sebagai perangkat paling cerdas, tangan kanan lurah.
Abdul sungguh hidup dalam gelimang nyaman. Hingga satu tahun silam, godaan itu membuatnya berdiri di antara persimpangan kejujuran dan keserakahan.
"Tanah ini dijual ke Pak Jupri? Kapan?" Demikianlah keterkejutan Abdul ketika Jupri mendatanginya ke balai desa.
Tanpa peduli dengan tulisan larangan merokok yang tertempel pada pintu ruangan kerja sekretaris desa, Jupri dengan santainya memantik korek, menyulut rokok, lantas mengisapnya kuat-kuat.