"Tugasku sebagai seorang carik hanya membuat surat-surat sesuai perintah Pak Lurah dan permintaan warga. Perihal surat itu menjadi legal untuk dipakai mengurus sesuatu, tentu itu bukan tanggung jawabku. Bukankah itu wewenang Pak Lurah yang membubuhkan tanda tangannya?"
Sinta, Arman, dan Hasan benar-benar tidak habis pikir. Abdul menjawab tuduhan dan peringatan mereka dengan amat santai. Segalanya seperti telah dia persiapkan sejak awal. Wajah datar, intonasi suara pun tenang. Dengan mengabaikan tiga tamunya yang tengah bersungut-sungut, Abdul justru mengambil air minum dalam gelas plastik yang ada di hadapannya. Air yang dia teguk perlahan melewati kerongkongan itu serupa bensin yang menjadi pemantik kekesalan Sinta dan lainnya. Namun, Abdul tidak peduli. Seolah-olah buta pada tatapan nyalang yang menghunjamnya kini.
"Tanpa mengurangi rasa hormat, Pak Carik," kata Hasan, begitu menekan geram suaranya, "kami datang untuk membicarakan kekeliruan yang telah dilakukan kelurahan. Kami tidak ingin ramai atau pihak-pihak selain yang bersangkutan ikut dilibatkan. Maka dari itu ...."
"Saya rasa bukti dari Pak Jupri cukup jelas untuk saya melakukan apa yang beliau minta tanpa mengonfirmasi dulu pada pemilik tanah, Pak Hasan," potong Abdul cepat. Dia paling anti terintimidasi. "Ada foto Paklik Jaka yang sedang menerima uang muka dari penjualan sawah tersebut."
"Itu jebakan, Pak Carik!" sergah Hasan. "Kita sama-sama tahu bagaimana tabiat Jupri sebagai makelar. Dia bisa melakukan apa pun."
Abdul mulai berfokus pada komputer di depannya. "Bagaimana jika Pak Hasan, Sinta, dan Arman langsung ke Pak Lurah saja? Sudah saya katakan, wewenang legalitas hanya tergantung dari bubuhan tanda tangan Pak Lurah. Saya hanya pembantu beliau. Tukang ketik saja."
Gigi Sinta bergemeletuk. Ingin sekali dia menyemprot Abdul dengan ragam umpatan. Namun, dia berusaha menahan hal itu. Wajah Abdul kini bukan lagi seorang laki-laki baik, penuh semangat kerja, dan jujur seperti di masa lalu. Dia sekarang adalah sekretaris desa serakah yang begitu pandai memutarbalikkan fakta. Mempersulit warganya hanya demi keuntungan tidak seberapa.
"Kita pergi saja dari sini, Pak Hasan," ucap Sinta tenang.
Hasan dan Arman menatapnya bingung.
"Untuk apa kita terus bicara dengan orang macam ini?" Sinta menyeringai menatap Abdul. "Orang serakah hanya bisa bersilat lidah. Mereka baru sadar akan kesalahan jika hukum sudah mengikat tangan dan kakinya. Tenang saja, tidak perlu membuang tenaga berdebat dengan orang yang memang tidak sekolah. Percuma. Mereka bebal dan kosong isi kepalanya."
Wajah Abdul merah padam. Tangannya kuat-kuat mengepal mengiringi ketiga tamunya yang balik kanan, meninggalkan ruangan.
Percaya jika setiap manusia akan selalu menjadi baik adalah hal bodoh. Begitulah artinya wajah Sinta yang masam. Abdul yang sudah seperti keluarga dan banyak dibantu bapaknya saja tetap bisa berkhianat. Uang ternyata mampu membutakan mata dari hubungan kekerabatan sejak lama. Tidak hanya kampung Lembah yang banyak berubah. Namun, manusia yang hidup di dalamnya pun tidak lagi sama. Tidak ada kesederhanaan. Semua sibuk menjadi kaya mendadak dengan uang yang tidak seberapa.
"Sebaiknya Nak Arman dan Nak Sinta juga ikut," kata Hasan sembari menyalakan mesin motornya.