Wira tumbuh dari keluarga berada. Bapaknya adalah mantan camat sedangkan kakak laki-lakinya adalah seorang anggota polisi. Dua sosok pilar kuat yang membentenginya itu membuat Wira mudah mendapatkan segala informasi yang belum diketahui orang lain. Terutama perihal rencana pembebasan tanah pada kampung Lembah beberapa tahun sebelum PT. Pelita Properti mengajukan proposalnya.
"Sudahlah. Daripada kamu menganggur, hanya menunggui warung kopi yang labanya saja tidak ada, lebih baik mencalonkan diri menjadi lurah," ucap bapaknya suatu hari.
"Bapak tahu sendirilah Wira ini mantan preman sekolah," jawab Wira cengengesan. "Mana ada warga yang mau memilih jadi pemimpin. Pasti mereka takut akan rusak kampung ini."
"Anak ini benar-benar tidak bisa berpikir." Bapaknya menyundutkan putung rokok pada asbak. "Cukup kibaskan selembar seratus ribuan, orang-orang kampung itu pasti akan memberikan suaranya padamu. Bahkan rela siang-malam berkampanye di bawah kakimu. Berapa orang? Paling hanya dua ratusan. Perkirakan saja modalmu hanya dua sampai tiga ratus juta. Dan modal itu akan segera kembali berlipat-lipat. Boleh jadi, sampai miliaran."
Belum genap Wira menanyakan apa maksud bapaknya, saudara laki-lakinya yang seorang polisi itu ikut menyahut, "Tiga tahun lagi, kampungmu itu akan menjadi perumahan mewah. Sebuah anak perusahaan perumahan raksasa sudah mengajukan berkas-berkas permohonan pembebasan lahan. Tentu saja izin pembangunan juga. Yang menjadi kepala desa di kampung Lembah itu pasti akan menjadi kaya mendadak. Sungguh luar biasa."
"Mas Hadi tidak bercanda?" tanya Wira. "Tapi, kalaupun memang akan ada perusahaan yang melakukan pembebasan lahan, belum tentu juga akan mudah terlaksana. Kita tahu bentul masyarakat kampung ini begitu mencintai sawah mereka. Sepertinya mustahil akan ada penjualan tanah besar-besaran. Boleh jadi, justru akan terjadi demo penentangan."
Sang Bapak dan kakaknya itu tertawa. Wira kian mengerutkan kening. Apanya dari perkataanku yang salah?
"Kamu ini terlalu bau kencur, Wira," kata sang bapak. Kembali menyulut rokok kedua. "Manusia itu sejatinya makhluk serakah. Saat melihat uang sebanyak yang belum pernah mereka punya, segalanya akan rela diberikan. Bahkan hubungan kekeluargaan pun bisa terputus begitu saja."
Wira mulai menimbang-nimbang apa yang dikatakan bapak dan kakaknya. Menjalankan warung kopi memang tidak banyak membantu perekonomian. Kerja di perusahaan bagus pun tidak memungkinkan. Selama ini, dia memang telah melihat betapa keluarganya menjadi kaya dalam waktu singkat sejak sang bapak mulai merintis karier sebagai lurah, lantas naik hingga posisi camat untuk kemudian pensiun dengan gelimang harta.
"Bagaimana? Mau mencoba?"
"Modalnya, Pak?"
"Gampang. Saat ini, kamu cukup melakukan pencitraan menjadi sosok yang paling peduli dengan warga. Itu saja. Sisanya, Bapak yang aturkan."
Pengalaman sang bapak nyatanya mempermudah pergerakan Wira. Satu tahun menjelang pemilihan kepala desa baru, dia menyumbang dana yang tidak sedikit. Jalan-jalan menuju area persawahan yang tadinya hanya setapak berbatu berubah menjadi aspal. Betapa gembiranya para petani. Mereka merasa terbantu ketika harus mengangkut hasil panen. Tidak lagi tergelincir sana-sini pada genangan lumpur. Semua mengagumi Wira. Menyanjung dengan ragam puja-puji.