Tiga hari genap. Suara detakan jarum jam yang berpindah dari menit ke menit itu seperti genderang yang ditabuh keras-keras. Menggaduhkan hati Wira. Inilah harinya dia harus memberi penjelasan kepada Sinta perihal sporadik yang telah dia keluarkan untuk Jupri. Bahkan boleh jadi perempuan itu juga akan menuntut penyelesaian.
Sudah lewat lima belas menit dari pukul sembilan. Seharusnya saat ini, dia sudah duduk di singgasana kepala desa dengan nyaman. Membubuhkan tanda tangan pada kertas-kertas yang entah apa saja, yang menurut Abdul itu adalah berkas penting. Selama menjabat sebagai pimpinan kampung Lembah, Wira memanglah selalu percaya pada Abdul. Sosok sekretaris ulet, cakap, dan pintar. Apa pun yang dikatakan Abdul, selalu dia beri anggukan. Andai laki-laki itu punya modal lebih banyak, tentulah lebih pantas Abdul yang duduk di kursi tertinggi.
Kali ini, Abdul membuatnya sungguh jengkel. Kesalahan yang tidak pernah terjadi, justru didapatkan Wira dari seorang teman dekat. Sekretarisnya itu juga tidak pernah mengatakan kalau telah mengeluarkan sporadik ganda.
"Pak Kades tidak perlu ke kantor hari ini. Beberapa warga desa ramai meminta kelurahan untuk segera mendesak pihak PT. Pelita Properti yang sampai sekarang belum juga melunasi pembayaran sawah mereka." Begitulah kata Abdul melalui telepon. Itu pula sebab Wira terus saja mondar-mandir di dalam kamar. Dia harus mencari banyak jalan keluar.
Pintu kamar diketuk cepat. Wira melangkah sebal. Baru dia tersadar jika tadi telah mengunci kamar. Suara Puspa terdengar tidak sabaran memanggil-manggil namanya.
"Ada apa, Puspa?" tanya Wira menekan kesalnya.
"Di depan ada Sinta dan suaminya, Mas."
Seketika, wajah Wira pasi. Sungguh celakalah dia. Belum juga mendapat alasan yang tepat untuk bersilat lidah, tamu yang tidak diharapkan itu justru tiba.
Wira membenahi kemeja batiknya, merapikan rambut yang sudah klimis khas seorang lurah muda yang hendak berangkat ke kantor. Mengiringi langkah Puspa yang segera menuju dapur untuk membuat minuman dan kudapan, Wira berjalan ke ruang tamu. Di sofa, Sinta dan Arman sudah menunggunya dengan wajah penasaran.
"Bagaimana, Pak Kades? Apa persoalan dengan Pak Jupri sudah dibereskan?" Sinta bertanya tidak sabar.
"Begini, Mbak, Mas." Wira mengeluarkan ponsel. Memperlihatkan sebuah foto pada kedua tamunya. Foto yang sudah pernah dilihat Sinta, yang membuatnya benar-benar berang. "Masalahnya, foto ini sudah menjadi bukti kuat kalau telah ada transaksi jual-beli. Sudah aku upayakan ke kantor, tapi nihil. Pak Jupri mengatakan sudah ada uang muka yang diambil sebesar seratus juta. Jadi ...."
Wira menggeleng prihatin.
"Sudah aku katakan, ini penipuan, Mas Wira!" seru Sinta. Sudah dia lupakan jika sahabatnya itu kini seorang lurah. "Uang itu sudah dikembalikan Bapak, tapi diambil lagi oleh Romlah, saudara Jupri itu. Mereka benar-benar bersekongkol untuk mencuri sawah milikku."