Hawa panas memayungi kampung Lembah. Sungguh cuaca yang ganjil di tengah musim penghujan. Terik yang menyengat itu semakin membuat terbakar hati Sinta. Wira yang diharapkan bisa berdiri di pihaknya, menjegal langkah Jupri, ternyata hanya bisa memberikan dua pilihan tidak masuk akal. Segaris pun, tidak pernah tebersit dalam benak Sinta untuk mengikuti skenario ngawur dari Jupri.
"Apakah kelurahan ini hanya sebuah kakus? Kalian hanya bisa menampung keluh kesah warga tanpa ada niat membantu! Apa bedanya kalian dengan tempat penampungan tinja?"
Motor Arman seketika berhenti di depan balai desa. Sebuah orasi lantang yang baru saja dia dengar, cukup menyita perhatian. Bahkan suasana di depan gapuranya pun ramai. Berkerumun banyak warga yang ingin masuk, mencoba membuka pagar dengan paksa. Persis seperti pendemo yang menodong keadilan penguasa.
Pada barisan para 'pendemo' itu ada Mbok Kasti dan suaminya. Tidak pula ketinggalan Wiwin, gadis penjual tahu yang berdiri di belakang sang ibu sambil menggendong adiknya. Lantas, suara yang lantang datang dari seorang laki-laki yang tengah memanjat pagar. Itu adalah Marto, suami Aini.
Ada apa gerangan? Begitulah arti tatapan Sinta pada Arman. Beberapa waktu lalu, ketika mereka melewati balai desa untuk menuju rumah lurah, suasana masih sepi. Kini telah disesaki oleh manusia-manusia. Di antara mereka bahkan ada yang membawa arit.
"Di mana Lurah? Suruh keluar! Keluar!"
Teriakan itu susul-menyusul dari mulut pendemo. Mereka semakin tidak sabaran. Memukul-mukul pagar besi dengan arit dan batu hingga berdenting-denting, riuh. Beberapa pengguna jalan berhenti untuk menyaksikan keanarkisan itu. Tidak sedikit dari mereka yang merekam, mengambil foto, lantas penuh semangat mengunggahnya pada media sosial.
"Hoi! Orang-orang yang mendiami kakus kelurahan! Keluar!"
"Suruh Lurah keluar! Cepat!"
Satu, dua warga mulai mengumpulkan batu. Melemparnya ke halaman balai desa. Marto yang tadi menaiki pagar, akhirnya berhasil melompat ke halaman. Dia mengambil batu besar, memukul-mukul gembok hingga terlepas. Serupa air bah yang menjebol tanggul, begitulah akhirnya warga bisa masuk. Langkah mereka berderap-derap memasuki halaman balai desa, masuk ke ruang rapat utama.
"Mana Lurah? Di mana dia?" Seruan-seruan berang kembali terdengar.
Arit-arit mereka teracung. Siap menebas leher siapa pun yang mencoba menghalangi. Dari balik pintu kerja masing-masing, para staf kelurahan itu bergidik ngeri. Menyaksikan kebrutalan warga yang mulai mencabik-cabik kursi plastik ruang rapat. Meja-meja kayu ditendang, foto lurah dan perangkatnya dibanting. Suasana semakin kacau. Para 'penonton' di luar pagar tidak kalah bersemangat. Bak wartawan dadakan, mereka melakukan siaran langsung di sosial media. Berapi-api memberitakan apa yang tengah terjadi.