Keganjilan cuaca masih berlanjut hingga lepas isya. Hawa panas di siang hari tadi mendadak lenyap dilalap kesiur angin. Awan mendung susul-menyusul menyelimuti kampung. Begitu cepat mengusir matahari yang teramat semangat menumpahkan teriknya.
Gerimis kian lebat. Anak-anak mulai meninggalkan surau. Kecipak langkah mereka serupa irama lagu bersaing dengan seruan ustaz yang menyuruh agar anak didiknya itu gegas pulang ke rumah. Namun, mereka tidak ingin menyia-nyiakan waktu emas untuk bermain. Boleh jadi, hanya malam ini saja mereka akan bebas menari-nari di bawah guyuran hujan tanpa harus mendapat omelan. Hal itu disebabkan lantaran orang tua mereka sedang sibuk berkumpul di salah satu rumah warga. Ada sebuah rapat darurat, begitulah kata para orang tua ketika berpesan agar anak-anak mereka lekas tidur usai mengaji.
Dari terasnya, Sinta bisa melihat sudah tiga kali Aini bolak-balik menuju warung. Tetangganya itu berlari-lari kecil menghindari tempias hujan.
"Hei, Aini!" panggil Sinta.
Pastilah Aini berlagak sibuk begitu lantaran ada tamu di rumahnya. Bukan hanya satu, tetapi banyak. Teras joglonya yang lumayan luas itu terlihat penuh.
"Ada apa, Sinta?" Aini menyempatkan mampir meski tidak sampai melangkah masuk. Di tangannya ada sebungkus gula pasir dan juga kopi hitam.
"Ada apa di rumahmu? Ramai sekali."
Aini menoleh sebentar ke terasnya. "Mereka sedang rapat."
"Rapat apa?"
"Mencari strategi, katanya," jawab Aini. "Kamu tidak lihat tadi siang kami semua berdemo di kelurahan untuk meminta kejelasan pelunasan sawah? Nah, itu! Mereka sedang mencari jalan untuk mendesak Pak Kades agar mau bertindak untuk warganya." Aini kembali menoleh ke teras rumahnya. "Aku balik dulu, ya. Mau membuat kopi untuk mereka."
Ini peluang! Sinta bergegas menemui Arman di dalam. Terpantik sebuah harapan begitu mendengar ucapan Aini. Boleh jadi, ini adalah jalan untuknya menyelesaikan persoalan dengan Jupri.
"Rapat?" Arman meletakkan cangkir kopinya. "Jadi, mereka belum puas dengan omong kosong Abdul rupanya."
"Kita bisa bergabung dengan mereka, bukan?"
"Kita belum tahu pasti duduk perkara mereka apa, Sinta. Tidak bisa bergabung begitu saja."
"Sama, Mas. Ini hanya soal pencurian tanah. Aku yakin. Mereka tidak mendapatkan haknya dengan benar, dengan adil. Kita dan mereka sama saja, Mas. Sama-sama meminta keadilan."