Selain arit, golok, cangkul, juga kapak, masyarakat desa tidak mengenal senjata lain untuk melawan ketidakadilan. Mereka yang sehari-hari hanya berkawan dengan helaian rumput dan padi, tidak pernah memahami jika ada buku undang-undang yang mengatur hukuman untuk kejahatan. Mereka yang hanya bisa beradu otot untuk melampiaskan amarah, tidak pernah tahu jika ada surat-surat untuk mencari perlindungan. Pagi setelah rapat darurat semalam berakhir, dipimpin oleh Arman, warga kampung itu mulai menjalankan misi mereka, membuat petisi untuk sang kepala desa.
Marto dan Santoso ditunjuk untuk mengumpulkan data permasalahan yang dihadapi penduduk. Tidak banyak di antara mereka yang bisa membaca dan menulis. Setidaknya, dua laki-laki tersebut masih mengenyam bangku sekolah dasar hingga tamat. Mereka cukup bisa diandalkan untuk menuliskan setiap keluhan warga, masing-masing pada selembar kertas.
Sementara itu, Arman bertugas merapikan lembaran-lembaran kertas tersebut. Dia mengganti huruf yang salah, kata-kata kurang tepat, pun mencoret kalimat-kalimat yang tidak diperlukan. Aini dan beberapa perempuan masih dengan kesibukan mereka seperti ketika rapat darurat semalam. Berseliweran memberikan kopi dan kudapan. Kali ini, adalah jagung rebus. Aromanya pas di pagi yang berembun. Sayang sekali, jagung itu bukan hasil dari ladang mereka sendiri. Untuk sekadar palawija yang dulu bisa dinikmati cuma-cuma, kini mereka harus merogoh kantong dan pergi ke pasar untuk mendapatkannya.
Berbeda dengan Arman yang duduk di teras joglo Aini bersama Marto, Susanto, dan beberapa warga, Sinta justru memilih sendirian di ruang tamu. Duduk tenang di depan laptop yang dia bawa dari rumah. Tangannya bergerak cekatan mengetik setiap kalimat. Dia hanya mengangguk ketika Aini menyuguhkan teh hangat dan jagung rebus.
Hasil rapat tadi malam membuat semangatnya menggelora. Sejak fajar menyingsing, Sinta sudah mengetuk rumah Hasan. Menagih janji contoh petisi yang telah dijanjikan semalam. Sinta tidak ingin menyia-nyiakan waktu sedikit pun. Warga kampung sudah kompak untuk bekerja sama. Dia berusaha membereskan segala urusan dengan segera. Satu detik baginya bisa mengubah banyak keadaan.
"Semua sudah selesai." Arman meletakkan setumpuk lembaran keluhan warga yang telah terkumpul. "Bang Siswo ingin kita menambahkan perangai Jupri yang tidak bisa dipercaya sebagai makelar. Bagaimana?"
Sinta mengangguk. "Kita masukkan saja. Jupri juga bisa melenggang santai menipu warga pun karena ketidakbecusan staf kelurahan."
Keduanya mulai memilih dan memilah setumpuk lembaran kertas tersebut. Sebagian warga mengeluhkan pelunasan yang tidak tepat waktu. Sebagian lagi mengeluhkan kelurahan yang terlalu cepat mengeluarkan sporadik baru untuk pembebasan sawah padahal baru ada uang muka.
"Coba baca ini!" Arman mengulurkan kertas milik Mbok Kasti. Sejenak, Sinta terdiam. Teringat sosok perempuan tua yang harus bekerja menimbangi gula di toko sembako.
Sinta menelusuri setiap kata. Tiba-tiba terasa teriris hatinya. Mbok Kasti mengeluhkan pelunasan sawahnya yang sudah satu tahun tujuh bulan belum ada kejelasan. Setiap bulan, Mbok Kasti dan sang suami mendatangi kelurahan untuk meminta bantuan, tetapi nihil. Kepala desa menyarankan agar merundingkan perkara tersebut dengan makelar yang menangani.
"Sebentar, Mas, aku jadi bingung," ucap Sinta berhenti membaca. "Kenapa harus menghubungi makelarnya? Bukankah pihak kelurahan bisa menghubungkan pemilik lahan langsung dengan kantor untuk meminta pelunasan? Lihatlah! Bahkan sisa uang Mbok Kasti ini cuma lima juta, lho. Apa segini saja kantor tidak sanggup bayar?"
"Kamu salah, Sinta. Warga di sini tidak pernah ada yang berhubungan dengan kantor perumahan itu."
Sinta mengernyit. "Maksudnya bagaimana?"