Kampung Lembah mendadak seperti kuburan. Mengebumikan manusia-manusia pengkhianat yang tidak tahu terima kasih. Pintu-pintu rumah tertutup, menjadi tameng persembunyian bagi para pengecut yang hanya tahu cara bersembunyi.
Sinta limbung di lantai rumahnya dengan napas tersengal. Pakaiannya nyaris basah oleh keringat. Arman yang duduk di sampingnya pun dalam kondisi yang sama. Tangannya meremas kuat-kuat map cokelat berisi petisi yang batal dia lemparkan pada kepala desa. Mendapati halaman kantor kelurahan yang kosong, warga yang mendadak membatalkan tuntutan, serta-merta membuat mereka berlarian. Mengetuk satu per satu pintu rumah.
"Aini! Aini! Mas Marto!" Sinta menggedor pintu rumah joglo tersebut kian keras. Dua menit hanya terdengar teriakannya. Sang empunya rumah belum juga tampak. "Aini! Aini! Buka pintunya, Ni! Aini!"
Derit kayu terdengar. Pintu perlahan bergerak. Belum terbuka sempurna, tetapi Sinta telah lebih dulu merangsek meraih pundak kedua lengan Aini.
"Ada apa? Kenapa kalian tidak datang ke balai desa? Ada apa, Ni?"
Tubuh kecil Aini diguncang begitu hebatnya oleh Sinta. Namun, tidak sedikit pun membuatnya bereaksi. Mata perempuan itu redup, menatap Sinta seolah-olah memohon pengampunan.
"Ayo, kita ke balai desa sekarang! Ayo, Ni! Di mana suamimu?"
"Tidak perlu ke sana!" Marto berseru. Disingkapnya gorden sebuah ruangan tempat dia keluar. "Kami tidak akan ikut protes ke Lurah. Dan ... hapuslah nama kami dari petisi itu."
Marto si paling vokal meminta keadilan sampai nekat memanjat pagar balai desa, mendadak terjungkir balik pikirannya. Sang pemimpin rapat darurat yang begitu semangat membantu menuliskan keluhan warga, tiba-tiba ingin namanya dihapus dari keterlibatan. Belum genap Sinta membuka mulut untuk memberondongnya dengan pertanyaan mengganjal, Marto sudah lebih dulu menarik Aini untuk kembali masuk, lantas menutup pintu. Mengabaikan Sinta yang kembali berseru-seru meminta penjelasan. Namun, sia-sia belaka.
Apa yang dialami Arman pun tidak jauh berbeda dengan sang istri. Dia berlarian dari satu rumah ke rumah lain, menggedor pintu tanpa hasil. Tibalah dia pada akhirnya di rumah Santoso. Sayangnya, bukan sosok bijak yang diharapkan Arman bisa diajak berunding, yang menyambut kedatangannya dengan ramah. Namun, Siswo yang memasang wajah kecut.
"Bang, ada apa ini? Kenapa Abang dan yang lainnya tidak datang ke balai desa?"
"Kami memutuskan untuk tidak ikut dalam petisi itu," jawab Siswo dengan suara seraknya yang khas.
"Tapi, kenapa? Abang kemarin yang bahkan berinisiatif untuk ...."
"Tidak dengar kamu barusan yang aku bilang, heh?" sergah Siswo. Keningnya sudah berkerut menahan kesal. "Kami tidak ikut! Titik!"