Sesuatu sedang mencabik-cabik kampung kecil itu. Merampas tanah subur yang setiap pagi selalu diselimuti kabut. Tidak ada lagi suara tenang dari gemercik air sebab aliran irigasi telah disumpal. Dibelokkan menuju kawasan rumah beton yang dihuni para pendatang. Hamparan padi bak permadani sutra berwarna kuning, sebuah pemandangan yang membuat hati para petani mekar penuh debar, kini lenyap. Digulung oleh kerakusan pihak-pihak yang datang dengan buldozer. Hewan-hewan ternak mulai kelaparan, dijual dalam kondisi kurus sebab ilalang juga tidak mempunyai sebidang lahan pun untuk bertumbuh.
Kampung kecil nan asri itu telah dibabat haknya. Dilumat masa depannya. Kampung kecil dengan sejuta cerita dari manusia-manusia polos di dalamnya itu bernama Lembah, yang kini tengah diperebutkan oleh para mafia.
Sinta begitu ingin melontarkan kalimat umpatan. Warga kampung nyata-nyata telah berkhianat padanya. Sejak ayam mulai keluar dari kandang, matahari menambah kuning terang suasana lepas fajar, para warga berbondong-bondong meninggalkan rumah. Mereka berbaris rapi dengan wajah berseri-seri. Satu-satunya tempat yang mereka tuju adalah rumah di ujung belokan.
Sang tuan rumah, Marto, menyambut dengan semringah. Aini mengekor di belakang sang suami, mempersilakan tamu-tamunya untuk duduk di teras yang sudah digelari beberapa karpet pandan. Kopi beraroma santan menguar. Disandingkan dengan ubi, jagung, kacang rebus yang dilahap para tamu tanpa sungkan.
Jauh berbeda dengan suasana rapat darurat yang mencekam, penuh emosi, dan keseriusan mencari strategi. Kali ini, mereka duduk santai, saling bercengkerama seperti sedang menghadiri pertemuan keluarga dalam acara ngunduh mantu. Siswo yang biasanya tampak berwajah garang dengan alis mata yang selalu diadu, pagi itu bukan main cerah wajahnya. Tidak pula ada arit yang dia genggam erat-erat.
Tiga puluh meter dari rumah Marto, ada sepasang hati yang terlukai. Itulah Sinta dan sang suami yang telah mereka khianati. Semakin tersakitilah perasaan Sinta ketika dari arah utara terdengar mesin mobil menderu. Dari jendela pada sisi kemudi yang diturunkan, seseorang menyembulkan kepalanya. Dia menampilkan seringaian khas seorang bangsat.
"Hoi, selamat pagi, Keponakan!" Seseorang itu menekan beberapa kali klakson mobil. Tangannya dilambai-lambaikan. Dia melompat turun, berjalan memasuki halaman rumah Sinta. "Kamu tidak menawari adik dari ibumu sarapan, Sinta?"
Jupri. Orang yang paling ingin Sinta buang ke balik sel penjara. Seorang bedebah yang pintar sekali merancang penipuan.
"Ah! Sejujurnya aku sangat terkejut mendengar kabar kalau akan ada demo petisi untuk kepala desa. Kamu ini memang seseorang yang cerdik dan luar biasa bersemangat." Jupri terkekeh-kekeh. "Ya, sayang sekali. Seharusnya sebelum repot-repot merancang petisi sampai mungkin kurang tidur, kamu sebaiknya mengumpulkan informasi dulu. Kamu seharusnya bertanya padaku apakah aku ada jadwal melunasi sawah mereka?"
Jupri menepuk-nepuk ransel besar yang ada di punggungnya.
"Ini ... uang," seringainya, lantas menoleh pada kerumunan warga yang berada di teras Marto. "Jika kamu juga ingin menikmati kesenangan seperti mereka, lekaslah kita lanjutkan proses jual beli sawahmu itu. Tiga ratus juta. Pikirkanlah!"
Sinta menggeram. Seluruh tenaganya telah terkumpul pada kepalan tangan kanan. Sikunya perlahan menekuk, matanya panas menatap Jupri yang tengah bersedekap tenang.
"Sedang apa Pak Jupri di sini?"