"Itu tabungan haji milik Ibu. Itu tabungan haji milik Ibu. Tabungan haji Ibu."
Kalimat itu tanpa putus menerobos sela-sela bibir Sinta ditingkahi tangis yang tidak juga reda. Arman tahu bagi sang istri, ini bukan perkara tanah yang dijual dan dibeli. Ini adalah masalah warisan. Amanat dari mendiang Ibu untuk dijaga baik-baik, dimanfaatkan dengan bijak. Hancurnya hati Sinta tidak hanya disebabkan sawah tersebut telah diambil paksa oleh Jupri dengan tipu muslihat, melainkan juga tersebab Bapak yang justru terkesan pasrah membela kesalahan fatal istri barunya.
Nyata-nyata di depan mata, Romlah telah mengambil uang panjer dari Jupri untuk membangun rumah Rosni. Meski hanya sebaris kalimat, Sinta berharap bisa mendengar Bapak menegur Romlah dengan tegas. Namun, tidak. Dengan wajah lesu dan putus asa, Bapak justru datang membawa uang. Sebuah tabungan haji yang dikumpulkannya dengan Ibu selama bertahun-tahun. Betapa benci Sinta melihat Bapak yang amat putus asa. Semakin bertumbuh-tumbuhlah amarah Sinta pada Jupri dan Romlah.
"Ibu bahkan tidak bisa menikmati tabungannya," gumam Sinta di sela isaknya. "Romlah dan keluarganya yang serakah tidak berhak mengambil sepeser pun uang itu. Tidak sama sekali."
Niat hati Arman mendekati sang istri, menenangkannya. Namun, dia tahu itu percuma. Sinta bukan tipe perempuan yang butuh omong kosong ketika hatinya sedang berantakan. Arman hanya mengetuk pintu kamar yang dikunci dari dalam itu tiga kali. Mengatakan jika dia hendak sebentar pergi ke tempat Hasan. Sinta tidak memberi tanggapan. Hanya tangisnya yang mengiringi langkah Arman.
Semenjak warga berbalik arah dari rencana pengesahan petisi, Arman mulai berunding dengan Hasan. Mengharapkan kekompakan dari para petani untuk memperjuangkan hak mereka sudah percuma. Harus mencari jalan lain untuk merebut kembali apa yang harus direbut. Lantas, Hasan memberikan beberapa pendapat yang cukup untuk mengaminkan satu opsi yang terus terpikirkan Arman. Mendesak lurah untuk mencabut sporadik atas nama Jupri dan menyatakannya sebagai kasus pencurian tanah.
"Ini contoh-contoh berkas yang harus Nak Arman buat. Dan pada lembar ini adalah instansi-instansi yang harus mendapatkan surat-surat pernyataan dari kita. Silakan dilihat dan dibaca dulu."
Luar biasa! Begitulah arti tatapan Arman kepada Hasan ketika sang makelar menyerahkan beberapa lembar kertas padanya. Tentu itu bukanlah kertas-kertas biasa. Semuanya adalah contoh untuk membuat surat-surat gugatan jika ada pejabat publik yang melakukan pelanggaran aturan. Arman tidak menyangka jika Hasan memiliki benda semacam ini, banyak, begitu banyak. Bahkan ada satu lembar berisi bagan yang menunjukkan alur pelaporan.
Lebih mengejutkan lagi, bak seorang yang ahli di bidangnya, Hasan menjelaskan apa yang sudah tercatat pada lembaran-lembaran itu dengan lebih detail lagi. Seakan-akan tidak menginginkan satu pun pertanyaan terlontar dari mulut Arman, Hasan menyampaikan segala yang tamunya itu harus lakukan dengan sangat rinci.
"Dan seandainya pihak kelurahan bisa berkelit, Nak Arman harus mengambil tindakan yang seperti ini."
Sungguh sulit dipercaya! Sekali lagi Arman menatap Hasan dengan terkagum-kagum. Tidak hanya memberikan strategi berunding dengan kepala desa dan alur pelaporan, Hasan juga memberikan pertimbangan solusi jika di tengah jalan teradang kendala.
Hasan yang terus berkomat-kamit sedari tadi, akhirnya diam. Keningnya berkerut menelisik riak Arman yang tampak sedang menimbang sesuatu dalam kepalanya.
"Jika Nak Arman punya ide lain, silakan, kita bahas bersama."
Arman menggeleng. Mata Hasan menyipit. Sebagai seorang yang telah lebih setengah abad mengunyah ragam karakter rekan kerja, bisa dia lihat jika Arman tengah menimbang-nimbang sesuatu dalam kepala.
"Baiklah, Pak Hasan. Untuk semua ini, saya sangat berterima kasih." Arman bangkit, meraih kunci motornya di atas meja.