Dua hari. Wira tidak menyampaikan keberatannya atas batas waktu yang ditetapkan. Arman meninggalkan rumah Wira dengan sedikit lega. Setidaknya, ada secuil kabar baik yang bisa dia gunakan untuk membujuk Sinta menerbitkan senyuman.
Motor Arman berbelok pada gang pertama setelah tikungan. Rumah Hasan yang dia tuju. Sang makelar telah berdiri di teras, menunggu dengan wajah berselimut tanya. Arman mengeluarkan selembar kertas yang terlipat dari dalam saku kemeja. Ketika pergi ke rumah Wira, dia sempat membawa contoh surat pelaporan. Sekadar berjaga-jaga untuk memperkuat niat kedatangannya di hadapan Wira, pikir Arman.
"Bagaimana, Nak? Pak Kades setuju untuk mencabut sporadik-nya?" Hasan menembak dengan satu pertanyaan. Mengabaikan kertas yang diulurkan Arman.
"Tidak, Pak. Pak Kades tidak akan mencabut sporadik itu." Jawaban Arman membuat Hasan melongo. "Tapi, beliau meminta waktu dua hari untuk menyelesaikan masalah ini ke kantor."
"Menyelesaikan yang bagaimana itu maksudnya? Bukannya sudah jelas kalau jalan satu-satunya adalah pencabutan sporadik itu?"
Arman menggeleng. "Pak Kades punya rencana lain. Lebih tepatnya, ingin mencoba rencana lain. Kita sama-sama tahu jika pencabutan sporadik itu tentu akan menjadi bahan jejak hitam Mas Wira sebagai lurah. Boleh jadi, dia ingin menyelesaikan masalah ini dengan bernegosiasi dan meyakinkan kantor perihal keganjilan yang dilakukan Jupri."
Hasan yang biasanya selalu tenang dalam bersikap, tiba-tiba saja kesulitan membendung kekesalannya. Kentara benar riak marah menyembul di wajahnya.
"Menutupi jejak hitam apa?" Hasan tertawa. Sebuah tawa yang terdengar bak ejekan. "Sporadik itu adalah bukti dia teledor sebagai lurah. Dia abai pada data pribadi warga. Dengan mudah dibuka ke pihak lain sampai bisa dicuri. Sudah sepantasnya ada proses pencabutan yang menunjukkan bahwa kerjanya memang sangat perlu dipertanyakan."
Kalimat-kalimat Hasan yang menggebu dan penuh amarah membuat Arman mengernyit. Seakan-akan makelar itu teramat kecewa melihat Wira batal terjungkal oleh surat pelaporan. Namun, Arman tidak mau ambil pusing. Dia menganggap kemarahan Hasan adalah sebab tercekalnya langkah seorang makelar yang seharusnya bisa segera mendapatkan untung penjualan sawah. Suami Sinta itu memilih undur diri, meninggalkan Hasan dengan gerutuan kesalnya seorang diri.
Motor Arman kembali melaju. Dia berharap sang istri akan menyambut kedatangannya dengan senyum rekah di depan pintu. Lantas, akan dia kabarkan secercah harap yang membuat Sinta kian bahagia. Namun, perjalanannya harus tercegat oleh seseorang yang memanggilnya untuk singgah sebentar di sebuah warung. Seorang laki-laki yang beberapa jam lalu membuatnya teramat geram. Abdul.
Saat menjalani awal kehidupan pernikahan, Arman cukup asing dengan kopi yang setiap pagi disuguhkan Sinta. Kopi hitam dengan aroma santan. Ada sensasi gurih pada setiap tegukannya. Sinta mengatakan jikalau itu adalah ciri khas dari biji kopi yang disangrai bersama irisan daging kelapa tua. Warga kampung hampir semua mengonsumsi kopi dengan proses pembuatan yang sama. Namun, ada satu orang yang terkenal piawai meracik takaran untuk perpaduan biji kopi dan daging kelapa. Dia adalah seorang perempuan yang selalu didapuk sebagai peracik kopi jika ada warga yang melangsungkan hajatan. Sosok itu adalah ibu Abdul.
Lantas, inilah kali pertama Arman membuktikan perkataan sang istri. Tidak salah jika Sinta sering memuji kopi beraroma santan buatan ibu Abdul. Ada tambahan aroma yang berbeda, dan Arman tidak bisa menebaknya.
"Kopi yang disangrai dengan panci tanah liat aromanya lebih kuat dan segar. Bukankah tercium aroma tanah basah seperti ketika hujan turun untuk kali pertama pada musim penghujan?"