Harapan itu runtuh. Senyuman Sinta yang rekah saat menyambutnya, ternyata tidak didapatkan Arman. Wajah istrinya masih sendu, bahkan kian sendu. Semakin dongkol hati Arman ketika dia mendapati seorang perempuan tengah duduk di ruang tamu bersama sang istri. Rosni.
Arman mematung. Apa yang terjadi di depan matanya kini bak drama teatrikal. Sinta duduk bergeming di sofa. Tatapannya kosong dengan mata sembap. Jejak-jejak tangisnya masih kentara dari pipi yang basah. Sementara itu, Rosni bersimpuh di hadapannya, merangkul erat-erat kaki Sinta. Perempuan itu meraung seperti hamba sahaya yang meminta pengampunan dari sang tuan.
Bibir Rosni terus bergerak, melontar kata maaf. Tidak lelah dia berupaya agar ampunan dari Sinta itu segera terdengar menyapa telinga. Arman menarik napas dalam-dalam. Memperhatikan Sinta yang bagaikan maneken di sebuah toko busana. Begitu miris dia melihat Rosni yang terus terisak-isak. Orang-orang akan menganggap keduanya terikat dalam hubungan persaudaraan tiri yang menyayat hati.
"Aku harus bagaimana untuk meminta maaf atas nama ibuku, Sinta?" Semakin erat Rosni memeluk kaki Sinta. "Perlukah aku mencongkel kembali satu demi satu batu bata yang sudah rekat dengan pasir dan semen itu?"
Jantung Arman lebih kencang berdentaman. Bukan lantaran kalimat nelangsa Rosni, melainkan bola mata sang istri yang bergerak, menatap pada saudara tirinya. Dalam sepersekian detik, maneken itu kembali terisi nyawa. Sinta menyeringai, menghunjam Rosni dengan mata berkilat-kilat.
"Lakukanlah!" tantang Sinta. Dia mengempas tangan Rosni yang merangkul kedua kakinya. "Congkellah satu per satu batu bata itu. Jika tidak bisa mengembalikan uangku yang sudah kalian curi, robohkan saja rumahmu itu. Kecuali jika kalian telah hilang rasa malu. Silakan saja nikmati uang itu dan hiduplah sengsara dalam rumah yang tidak akan ada keberkahannya itu."
Wajah nelangsa Rosni seketika pudar. Berganti dengan bergulung-gulung kemarahan. Tangannya yang mengepal erat, bergetar.
Sejatinya, betapa bangga Rosni ketika Bapak melamar sang ibu. Kala itu pun, Sinta ramah betul kepada Romlah dan keluarganya. Sampai sempat terucap permohonan untuk kesediaan menjaga Bapak andai dirinya harus mengikuti sang suami yang ditugaskan ke kota lain. Sinta yang memiliki citra baik di kampung, satu dari segelintir anak muda yang berpendidikan tinggi, juga keluarga Bapak yang dikenal baik, cukup berada, dan berwibawa adalah sumber mekarnya hati Rosni menjadi bagian dari mereka.
Akan tetapi, rekatnya persaudaraan yang diimpikan Rosni, tidak pernah dia dapatkan. Sinta membentangkan jarak yang amat lebar. Mendirikan benteng begitu tinggi hingga Rosni tidak kuasa menggapai saudara tirinya lagi.
Banyak hal yang telah Rosni upayakan untuk mengambil hati Sinta. Mengiriminya masakan meski ada saja tetangga yang mengadu jika sesekali melihat Sinta membuang apa yang dia berikan. Rosni pun membeli sebuah ponsel pintar meski hanya bekas. Dia belajar menggunakan internet, membaca apa saja yang sekiranya sesuai dengan apa yang dipelajari Sinta di sekolah. Tujuannya hanya satu, tidak terseok-seok ketika bicara dengan Sinta. Sayangnya, jangankan membicarakan berita terkini dalam obrolan ringan sambil minum teh, sekadar menyapa bertanya kabar saja, Sinta selalu memalingkan wajah.
"Inilah memang dirimu yang sebenarnya," desis Rosni. "Perempuan berpendidikan kebanggaan kampung. Cerdas, pintar, berkarier cemerlang di kota kabupaten. Semua pemuda kampung kala itu bahkan harus menelan pil getir patah hati ketika anak kota dari keluarga berada, pekerjaan bergaji tinggi datang melamarmu. Oh, sungguh Sinta yang selalu dipuja-puji membuat iri! Siapa sangka jika kamu begitu hebat berdrama. Di hadapan semua orang tampak santun dan hatimu yang selalu murah. Tapi, teramat lancang kepada keluarga."
Sinta mengamati Rosni yang merah padam wajahnya, lantas bertawa mencemooh.